I Made Sarjana, S.P., M.Sc. (BP/Istimewa)

Oleh I Made Sarjana

Debat pertama calon gubernur dan calon wakil gubernur (cagub dan cawagub) Provinsi Bali 2024-2029 digelar Rabu (30/10) dengan tematik “Memformat Bali menuju Pariwisata Berkelanjutan”. Jika dicermati tematik ini klise dan tidak menantang, karena tematiknya umum dan sudah sangat akrab bagi masyarakat yang bermukim di Bali sebagai destinasi pariwisata internasional. Saking terlalu familiarnya istilah ini, ternyata banyak pihak melupakan esensi yang terkandung dalam konsepsi pariwisata berkelanjutan. Ibaratnya, ada dua sahabat yang kenal lama dengan nama panggilannya, namun tidak mengetahui nama asli di KTP alias kenal muka namun tidak kenal identitas pribadi yang sebenarnya.

Terminologi pariwisata berkelanjutan secara sederhana diartikan menjaga kesempatan yang sama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan budaya maupun buatan manusia bagi generasi sekarang dan generasi masa depan. Pemanfaatan aset alam, budaya, dan kreativitas manusia untuk sektor pariwisata mesti berjalan seimbang, tidak saja menguntungkan masyarakat yang sedang dalam usia produktif saat ini tetapi generasi muda yang akan menerima “warisan” di masa depan harus memiliki peluang yang sama menikmati.

Batasan lain pariwisata berkelanjutan tidak lain pembangunan pariwisata yang mempertimbangkan secara seimbang aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial. Lantas bagaimanakah perspektif cagub dan cawagub Bali terkait upaya memformat Bali dalam koridor pengembangan pariwisata berkelanjutan?

Pasangan calon No 1 mendefinisikan pariwisata berkelanjutan sebagai “Dari sembilan tata kelola tersebut kami jadikan program utama dan umum sesuai dengan tema debat malam ini Memformat Bali Menuju Pariwisata Berkelanjutan yang dibagi menjadi lima sub tema, yaitu hukum dan kamtibmas; isu lingkungan dan tata ruang; ketahanan budaya; infrastruktur dan moda transportasi; dan ekonomi pariwisata. Kami membagi menjadi dua cluster. Cluster pertama, hukum dan kamtibmas, isu lingkungan dan tata ruang, ketahanan budaya dalam program aplikasi terintegrasi dan tim pengendali bersama; pembuatan badan khusus pengelolaan sampah; penanganan dan pencegahan banjir serta meningkatkan cadangan debit air tanah; menambah ruang terbuka hijau, taman ramah anak dan lansia”. Pernyataan tersebut baru sebatas inventarisasi istilah dan belum menggambarkan kebijakan apa yang akan diambil dan program kerja apa yang diprioritaskan untuk membangun pariwisata keberlanjutan Bali  lima tahun ke depan.

Baca juga:  Hospitality Leaders Talk, "Quality & Sustainability: A New Paradigm of Bali Cultural Tourism"

Sementara itu pasangan calon No. 2 memaparkan pembangunan pariwisata berkelanjutan di Bali melalui “Program prioritas untuk mewujudkan pariwisata berkelanjutan di bali. Yang pertama, program restorasi Parahyangan Pura Besakih karena banyak pelinggih yang sudah rusak berat. Pura Besakih merupakan pusat spiritual Bali, sehingga Bali memiliki aura yang kuat dan menjadi daya tarik wisata. Program pembangunan Pusat Kebudayaan Bali di Klungkung untuk menjadi objek pariwisata berkelas dunia, meningkatkan desain pariwisata Bali agar bisa berkelanjutan. Pembangunan Turyapada Tower di Buleleng untuk mewujudkan pariwisata baru berkelas dunia sekaligus menyeimbangkan pembangunan Bali Utara dan Bali Selatan. Pembangunan gedung parkir Pura Batur karena selama ini selalu macet, maka mobil akan ditampung di gedung parkir. Selanjutnya dibangun jalan penghubung di Pura Batur dan Pura Besakih karena pujawali di Pura Batur dan Pura Besakih selalu bersamaan, sehingga macet.

Baca juga:  Australia akan Fokus di Lingkungan dan Pariwisata Berkelanjutan

Dengan jalan ini dipastikan tidak ada macet lagi dengan pembangunan jalan Pura Besakih dan Pura Batur. Pembangunan jalan baru Sang Hyang Ambu, menghubungkan Klungkung dan Karangasem sebagai bagian dari jalan lingkar Bali, jalan melalui terowongan sepanjang 200 meter, jalan menjadi aman dan nyaman, tidak lagi melewati tikungan yang merasa tidak nyaman dan aman. Pembangunan jalan baru Brina, menghubungkan Karangasem dan Buleleng agar wisatawan dengan nyaman bisa mengunjungi pariwisata yang ada di Kabupaten Karangasem dan Buleleng. Jalannya sangat indah dengan jembatan yang bagus. Melanjutkan jalan shortcut titik 9-10 Singaraja – Denpasar.”

Pernyataan Paslon 2 tersebut menggambarkan pembangunan Bali dipersepsikan akan berjalan secara berkelanjutan jika penyediaan fasilitas fisik (infrastruktur) kelar. Persepsi ini perlu dikoreksi mengingat pembangunan berjalan baik jika pendekatan fisik dan non-fisik berjalan seimbang dan proporsional. Ada yang terlupakan dalam pembangunan infrastruktur cenderung membuka kawasan bisnis baru yang tanpa terkendali dan kondisi ini cenderung kontra produktif terhadap isu pembangunan pariwisata berkelanjutan.

Tantangan pembangunan pariwisata berkelanjutan di Indonesia dan Bali khususnya saat ini, karena kajian-kajian kepariwisataan yang sudah banyak dihasilkan lembaga penelitian tidak dibaca dan dijadikan acuan dalam pengembangan kebijakan. Sebut saja, Pemerintah Provinsi Bali melalui Dinas Pariwisata telah melakukan inventarisasi dan pemetaan daya tarik wisata di sebagian besar wilayah seperti Kabupaten Buleleng, Karangasem dan Jembrana, yang digagas untuk pengembangan pariwisata secara komprehensif dan teintegrasi. Pemimpin Bali ke depan perlu mengeksekusi hub kepariwisataan yang telah teridentifikasi untuk membangun pariwisata Bali secara merata dan berkelanjutan.

Baca juga:  Ciptakan Pariwisata Berkelanjutan, Bali Harus Tuntaskan Persoalan Sampah

Tantangan lain, banyak sawah yang beralih fungsi dan landskap Bali berubah drastis akibat pembangunan fisik yang tanpa standar dan tidak terkendali. Kawasan wisata Kintamani menjadi kasus menarik, karena saat ini tidak ada lagi ruang terbuka bagi warga atau wisatawan menikmati keindahan Kaldera Batur dari ruas jalan raya  Denpasar- Singaraja di kawasan tersebut. Nyaris semua titik sudah dibentengi bangunan pertokoan, restoran dan coffeeshop, dan “wajah: Kintamani nyaris tak dikenali. Ke depan untuk mewujudkan pariwisata berkelanjutan perlu perencanaan detail di masing-masing wilayah desa, kecamatan atau kabupaten.

Hal ini perlu untuk mengerem alih fungsi lahan pertanian akibat sentralisasi perizinan saat ini. Perlunya penumbuhan kesadaran masyarakat bahwa pembangunan pariwisata bukan soal persaingan bisnis semata, atau berebut tempat paling strategis untuk tempat usaha, tetapi pertimbangan estetika dan keasrian lingkungan menjadi penting agar kesemrawutan Bali akibat pembangunan fasilitas pariwisata dapat dihindari dan kesan Bali mengalami “over tourism” dapat diantisipasi.

Penulis, Ketua Lab. Subak dan Rekayasa Agrowisata Fakultas Pertanian Unud

BAGIKAN