Oleh Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M.
Ada fenomena unik terjadi di Indonesia saat ini. Data menunjukkan kelas menengah sedang mengalami kesulitan, sehingga tabungan yang dimiliki semakin tergerus (istilah populernya adalah makan tabungan atau maktab). Namun yang aneh, barang-barang mewah yang berukuran kecil, masih laku keras, termasuk tiket konser musik yang mahal pun tetap terjual habis.
Tentu fenomena seperti itu cukup menarik. Dalam teori ekonomi, fenomena seperti itu disebut lipstick effect. Fenomena Lipstick Effect adalah konsep ekonomi yang menunjukkan kecenderungan konsumen untuk membeli barang-barang mewah kecil atau affordable luxury seperti kosmetik, terutama di masa-masa ekonomi sulit. Fenomena ini pertama kali diidentifikasi oleh ekonom Leonard Lauder pada awal 2000-an, ketika ia menyadari bahwa penjualan produk kosmetik, khususnya lipstik, mengalami peningkatan selama resesi ekonomi (Lauder, 2001).
Di Indonesia, fenomena ini menjadi sorotan pada tahun 2024, ketika ekonomi negara menghadapi tantangan pascapandemi dan inflasi global yang mempengaruhi daya beli masyarakat karena kenaikan harga kebutuhan pokok. Situasi ini menciptakan pergeseran pola konsumsi, terutama pada produk-produk yang dianggap mewah namun tetap terjangkau. Menariknya, sektor kosmetik dan produk kecantikan mengalami peningkatan penjualan, yang menjadi indikasi bahwa masyarakat cenderung mencari pelipur lara dalam bentuk produk-produk kecil dan terjangkau, yang memungkinkan mereka untuk merasakan kemewahan tanpa harus mengeluarkan biaya besar (Kotler & Keller, 2016).
Secara teoritis, fenomena Lipstick Effect dapat dijelaskan oleh teori Hedonic Consumption yang diungkapkan oleh Hirschman dan Holbrook (1982), yang menyatakan bahwa konsumen tidak hanya membeli produk untuk fungsi utilitasnya, tetapi juga untuk kepuasan emosional. Dalam kondisi ekonomi sulit, konsumen cenderung mencari hiburan dan kenyamanan melalui pembelian produk-produk kecil yang memberikan kepuasan langsung.
Teori ini memperkuat argumen bahwa masyarakat mencari cara untuk meningkatkan suasana hati mereka ketika kondisi ekonomi tidak mendukung pembelian barang-barang yang lebih besar dan mahal. Teori ini juga berhubungan dengan konsep Consumer Resilience, yang dijelaskan oleh Christopher et al. (2008) sebagai kemampuan konsumen untuk beradaptasi dengan kondisi ekonomi yang penuh tekanan dengan mengubah pola konsumsi mereka.
Di Indonesia, hal ini tercermin dalam peningkatan penjualan produk kosmetik pada tahun 2024. Konsumen memilih untuk membeli produk kecil seperti lipstik, parfum, atau perawatan kulit sebagai bentuk affordable luxury, yang memberikan kesenangan jangka pendek namun tidak mengganggu stabilitas keuangan mereka (Christopher et al., 2008). Di Indonesia, masyarakat perkotaan yang menghadapi tekanan inflasi dan stagnasi pendapatan beralih ke produk-produk kecantikan kecil sebagai bentuk pelarian dari stres ekonomi. Hal ini didukung oleh pernyataan ahli ekonomi dari Bank Indonesia yang mengatakan bahwa “konsumen di Indonesia cenderung meningkatkan konsumsi barang-barang yang memberikan kepuasan emosional di masa-masa ekonomi sulit, salah satunya kosmetik dan perawatan diri” (Bank Indonesia, 2024).
Fenomena Lipstick Effect di Indonesia pada tahun 2024 mencerminkan kecenderungan konsumen untuk beralih ke produk kecil yang memberikan kesenangan emosional di tengah tekanan ekonomi. Konsep ini didukung oleh teori Hedonic Consumption dan Consumer Resilience, yang menjelaskan bahwa konsumen mencari kenyamanan psikologis melalui konsumsi produk-produk kecil. Peningkatan penjualan di industri kosmetik menunjukkan bahwa sektor ini berpotensi menopang daya beli domestik, memberikan stabilitas ekonomi pada skala kecil.
Fenomena ini juga menandakan pentingnya adaptasi industri untuk memenuhi kebutuhan konsumen dalam kondisi ekonomi yang penuh tekanan. Industri kosmetik yang mampu menyediakan produk dengan nilai tambah emosional yang tinggi dan harga terjangkau berpotensi untuk terus bertumbuh, bahkan dalam situasi ekonomi yang tidak pasti.
Penulis, Dekan FEB Undiknas, Regional Chief Economist (RCE) BNI Wil 8 dan Tim Perumus dan Evaluasi Kebijakan Bripda Kabupaten Badung