AMLAPURA, BALIPOST.com – Debat kedua untuk pasangan calon (Paslon) bupati dan wakil bupati Karangasem kembali dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Karangasem, pada Minggu (3/11) malam. Dalam debat yang berlokasi di The Trans Resort Bali, Kuta Utara, Badung, Paslon Gusti Parwata-Pandu Prapanca Lagosa (GP) menawarkan program layanan murah, transparan dan efektif berbasis digitalisasi.
Dalam debat publik kedua Pilkada Karangasem, yang bertajuk “Memberikan Pelayanan dan Penyelesaian Persoalan Karangasem” dengan empat sub tema debat, yakni Pelayanan Sengketa Kasus Adat, Perubahan Iklim dan Mitigasi Bencana, Digitalisasi Pelayanan Publik
Perubahan Iklim dan Mitigasi Bencana, dan Layanan Kesehatan Masyarakat serta Penyandang Disabilitas tersebut, paslon nomor urut 3 ini menawarkan berbagai solusi untuk kemajuan Karangasem.
Terkait strategi kebijakan dalam mengoptimalkan pelayanan publik, Gus Par dan Pandu Prapanca Lagosa akan membuat pelayanan cepat, efisien dan transparan termasuk dalam meningkatkan pelayanan akuntabilitas pemerintah. Artinya semua pelayanan publik akan berbasis digital, baik pelayanan di rumah sakit, hotel dan restoran termasuk juga sektor galian C.
“Kami sangat meyakini pelayanan publik berbasis digitalisasi jauh lebih murah dan efektif dalam menekan kebocoran, terutama kebocoran di pajak di sektor galian C dan pajak hotel dan restoran,” ujar I Gusti Putu Parwata.
Termasuk dalam mengatasi persoalan sampah yang sampai saat ini belum bisa diselesaikan di Karangasem, Gus Parwata dan Pandu Prapanca Lagosa, menawarkan program membangun TPST berbasis kecamatan dan penyediaan alat penghancur sampah berbasis ekonomi.
“Sampah harus dipilah sesuai dengan jenisnya. Sampah plastik tidak boleh diabaikan dan harus harus betul-betul tangani bersama. Jika mendapatkan amanah masyarakat kami akan tuntaskan masalah sampah ini tentu dengan melibatkan pihak ketiga dan masyarakat,” ucap I Gusti Putu Parwata.
Terkait penyelesaian sengketa kasus adat di Karangasem, pasangan calon nomor urut 3, menilai bahwa pemerintah wajib hadir dalam mengatasi persoalan tersebut. Pandu Prapanca Lagosa mencontohkan terkait kasus yang terjadi di Desa Adat Bugbug. Dalam kasus tersebut pihaknya menganggap jika pemerintah tidak hadir untuk bersama-sama mencari jalan keluar. Sehingga kasus tersebut terus terjadi secara berlarut-larut.
“Pemerintah tidak melakukan penyelesaian sejak awal terkait kasus tersebut. Selain itu, pemerintah juga tidak pernah melakukan mediasi ketika kasus tersebut terjadi. Sehingga, masyarakat yang ada di Desa Adat Bugbug terus terlibat konflik tanpa ada perhatian dari pemerintah untuk melakukan penyelesaian secara musyawarah dengan menghadirkan kedua belah pihak agar kasus tersebut segera terselesaikan. Bahkan, ketika masyarakat Bugbug menyuarakan aspirasinya, pemerintah justru tidak tanggap dan tidak mau hadir,” ujar Pandu. (kmb/balipost)