Sejumlah wisatawan berada di Kemenuh Waterfall, Gianyar. Masyarakat Bali yang sebagian besar hidup dari pariwisata berbasis budaya dan sektor informal, bisa terpinggirkan jika dibuat menjadi "New Singapore." (BP/Melynia Ramadhani)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pengamat pariwisata dari Universitas Warmadewa (Unwar), Dr. I Made Subiastha Amerta, S.S., M.Par., Rabu (5/11) mengatakan, merujuk konsep Triple Bottom Line (TBL) oleh John Elkington, yang menekankan keseimbangan berkelanjutan antara People (manusia), Planet, dan Profit (3P), dapat dijadikan landasan kuat mengapa Bali tidak cocok untuk dijadikan “the New Singapore atau New Hongkong”. Gagasan ini, hanya menarik dari segi ekonomi dan prestise global.

Terkait People (Manusia), diungkapkan bahwa transformasi Bali menjadi pusat bisnis seperti Singapura atau Hongkong berpotensi memberikan dampak sosial yang signifikan bagi masyarakat lokal.

Dikatakannya, kehadiran industri bisnis internasional berskala besar bisa memperlebar kesenjangan ekonomi antara penduduk lokal dan pihak luar yang memiliki modal besar.

Masyarakat Bali yang sebagian besar hidup dari pariwisata berbasis budaya dan sektor informal, bisa terpinggirkan karena industri keuangan dan real estate akan mendominasi, menciptakan akses yang lebih sulit bagi masyarakat lokal. Selain itu, arus besar tenaga kerja internasional bisa menggeser budaya dan tata nilai lokal, mengancam kearifan tradisional yang selama ini menjadi inti dari kehidupan masyarakat Bali.

Subiastha juga menyinggung terkait Planet (Lingkungan). Bali memiliki lingkungan yang sensitif dengan ekosistem yang sudah tertekan akibat pariwisata dan pembangunan yang masif. Menjadikan Bali sebagai pusat bisnis dan keuangan akan menambah tekanan pada sumber daya alam yang sudah terbatas, terutama terkait dengan ketersediaan air bersih, manajemen limbah, dan perlindungan lingkungan laut serta daratan.

Baca juga:  Enam Hari Terbakar, Asap dari TPA Suwung Cemari Denpasar dan Badung

Selain itu, pembangunan besar-besaran dan infrastruktur gedung tinggi yang dibutuhkan untuk pusat bisnis akan merusak tata ruang tradisional Bali yang berlandaskan pada prinsip Tri Hita Karana, yaitu keharmonisan antara manusia, lingkungan, dan Tuhan. Singapura dan Hongkong mampu berkembang dengan fokus bisnis karena sejak awal didesain untuk menampung infrastruktur padat, tetapi Bali, dengan lingkungan alamnya yang lebih rapuh, berisiko mengalami kerusakan yang signifikan jika dipaksakan untuk fungsi serupa.

Sedangkan, Profit (Keuntungan Ekonomi), dikatakan meskipun menjadikan Bali sebagai pusat bisnis internasional dapat menghasilkan keuntungan ekonomi, model ini tidak sejalan dengan karakteristik ekonomi Bali yang berbasis pariwisata budaya dan alam. Pengembangan sektor keuangan dan bisnis berskala besar akan membawa dampak jangka panjang yang tidak selalu menguntungkan masyarakat lokal, karena keuntungan lebih banyak mengalir kepada investor luar.

Ketika ekonomi lokal terfokus pada bisnis dan investasi internasional, kata dia, sektor pariwisata berbasis budaya dan alam yang berkelanjutan justru bisa terpinggirkan. Singapura dan Hongkong berhasil dalam sektor bisnis karena mereka dirancang untuk itu, tetapi Bali memiliki ekonomi berbasis pariwisata yang sudah matang dan sebaiknya terus dikembangkan untuk memperkuat perekonomian lokal tanpa mengorbankan daya tarik alaminya.

Baca juga:  Komponen Melekat di KRI Nanggala-402 Ditemukan, Diduga Ada Keretakan di Kapal Selam

“Jadi, menjadikan Bali sebagai “the New Singapore atau Hongkong” bertentangan dengan prinsip keberlanjutan. Dampak negatif bagi masyarakat lokal (people), ancaman serius terhadap lingkungan (planet), dan keuntungan ekonomi yang mungkin tidak signifikan bagi penduduk setempat (profit) menunjukkan bahwa Bali lebih baik dikembangkan secara berkelanjutan sebagai pusat pariwisata budaya dan alam sesuai Perda Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali yang mengusung tema pariwisata yang berakar pada budaya lokal.

Pembangunan pariwisata tidak hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi tetapi juga melibatkan unsur budaya dan sosial yang melindungi identitas Bali,” tegasnya.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Bali, I Kadek Rambo Prasetya, membuat klarifikasi atau meluruskan soal pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang mau membuat Bali menjadi The New Singapore.

“Itu bukanlah ingin mengubah Bali seperti Singapura baru, namun yang dimaksud adalah bandaranya yang modern dan canggih di Singapura atau Hongkong diadopsi untuk dibangun di Bandara Bali Utara,” kata Rambo di Denpasar, Senin lalu.

Baca juga:  Dominasi Empat Zona Merah Capai 80 Persen dari Tambahan Kasus COVID-19

Dia meluruskan hal itu, sebab banyak komentar masyarakat yang tidak setuju mengubah Bali menjadi Singapura.

Diketahui pada Minggu (3/11), Presiden Prabowo menghadiri jamuan makan siang di sebuah warung makan di Denpasar sambil berbicara soal pemerintahan.

Prabowo juga menyinggung komitmennya untuk membangun infrastruktur transportasi udara di Bali Utara demi kesejahteraan masyarakat.

“Saya ingin membangun North Bali International Airport, kita akan bikin Bali mungkin The New Singapore atau The New Hongkong, dimana pusatnya nanti kawasan ini,“ kata Presiden yang juga Ketua Umum Partai Gerindra.

Rambo mengklarifikasi bahwa Prabowo tak ingin mengubah Bali menjadi negara lain, justru meminta Bali mempertahankan budaya yang ada.

Namun, fokus utama dalam pembangunan bandara adalah mempelajari teknologi dan standar internasional, mirip dengan bandara-bandara moderen di Singapura dan Hongkong.

“Hal ini sesuai dengan prinsip yang selalu ditekankan oleh Pak Prabowo untuk menjaga adat dan budaya Bali dalam pidato sebelumnya,” ujar Rambo. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN