Kadek Suartaya. (BP/Istimewa)

Oleh Kadek Suartaya

I Cupak berongkang pongah ria sebagai raja. Singgasana emas itu direnggutnya dengan bermodal dusta. Melalui sejumlah kebohongan yang dikarangnya, I Cupak dibopong rakyat sebagai pahlawan, mereguk tahta kekuasaan.

Bahwa dengan kebergelimangan harta pada genggamannya, ia mengumbar hasrat.liar tak bertepi. Berpoya-poya makan lezat adalah nafsu yang selalu berkobar pada dirinya. Simaklah dalam seni pertunjukan Bali yang menampilkan lakon Cupak Gerantang.

Bagaimana I Cupak makan seekor bagi guling, adalah adegan yang ditunggu-tunggu dan disimak antuasias para penonton. Proses makan melumat seluruh bagian babi guling sungguh ekstrem. Semuanya dihabisi sarat gairah, dari kepala hingga ekor yang hanya menyisakan tulang belulang berserakan.

Cerita Cupak Gerantang adalah sejenis legenda Bali yang juga dikenal di Lombok. Seting kerajaan Kediri di Jawa Timur yang membingkai kisahan ini menunjukkan nuansanya sebagai Cerita Panji, yaitu tentang romantika cinta dan peperangan di tanah Jawa tempo dulu.

Di Bali, cerita Cupak Gerantang diwarisi melalui pentas
teater, sastra tembang, dan tuturan lisan dongeng. Arja, adalah salah satu dramatari yang pernah menjadi pertunjukan favorit masyarakat, sering membawakan lakon ini. Gemuruh pementasan Drama Gong sekitar tahun 1970-1990, juga kepincut menyuguhkan kisah dua bersaudara I Cupak dan I Gerantang.

Baca juga:  Bali Antara Budaya dan Budaya Politik

Sementara itu, ketika layar kaca televisi mulai memasuki ruang kehidupan masyarakat modern, cerita Cupak Gerantang, pernah juga disimak penonton yang
disodorkan dalam olahan Drama Klasik. Sebenarnya, ada pula Wayang Cupak, akan tetapi telah lama tak pernah terdengar keberadaannya.

Endapan cerita Cupak Gerantang terinternalisasi cukup dalam melalui sastra tembang, yakni gaguritan bertajuk “Cupak Gerantang”. Melalui tradisi pesatian tersebut, pancaran keindahan beragam tembang dan nilai-nilai moral yang dikandungnya, diresapi serta dihayati secara
natural.

Pesan moral tentang kejujuran, keadilan, kebenaran, karmapala dan sebagainya, dijadikan cermin kehidupan dan tuntunan bermasyarakat. Cerita singkat Cupak Gerantang begini. Alkisah, adalah kakak adik Cupak dan Gerantang.

Walau bersaudara kandung, keduamya digambarkan amat kontras. Secara fisik, sang kakak, I Cupak, wajahnya jelek sedangkan I Gerantang tampan. Cupak berkulit hitam legam, berambut jabrik bak ijuk, mulut lebar, tubuh pendek, perut besar menggelambir.

Baca juga:  Mengoptimalkan Diagnosis Dini

Sedangkan Gerantang, berkulit bersih, berwajah tampan, tutur bicaranya santun dan bertubuh ganteng. Watak dua bersaudara ini juga digambarkan berseberangan.

Tingkah polah I Cupak dikisahkan sombong, angkuh, iri, dengki dan kejam. Sedangkan I Gerantang rendah hati, penyayang, ramah, dan bertanggung jawab.

Pengejawantahan cerita Cupak Gerantang dalam seni pertunjukan Bali cenderung diwarnai kelucuan dan banyolan. Kendati tokoh I Cupak dibenci penonton, gerak geriknya dalam genre dramatari dikarakterisasikan kocak dengan celetukan ucapan-ucapan khas yang menggelitik.

Misalnya ketika meminta atau memerintahkan kepada para pelayan istana menyediakan makanan kesukaannya. Tawa penonton beriak semarak. Namun, kini, hampir semua media seni budaya, apakah itu teater, sastra gaguritan, dan dongeng yang mengacu pada sumber cerita Cupak Gerantang, tampak lengang.

Cerita Cupak Gerantang sudah tak terdengar kabarnya dalam pagelaran Arja dan Drama Gong yang dua dasa
warsa ini tiarap redup. Sementara itu, di tengah cengkraman pesatnya teknologi digital, tradisi mendongeng–termasuk yang mengisahkan Cupak Gerantang–ini hanya menjadi nostalgia usang.

Yang masih tersisa hanya pengandaian orang yang makan rakus seperti Cupak. Tampaknya, nilai-nilai ideal dalam sejumlah kearifannya, bukan hanya sekedar bergeser akan tetapi sekaligus sedang mengalami guncangan dahsyat.

Baca juga:  Teknologi Digital dan Minat Baca 

Episentrum keluhuran yang sebelumnya menjadi panutan dan orientasi, cenderung sudah kehilangan karisma. Malahan, yang terasa bahkan tampak di sekitar kita adalah arus kiblat sungsang, yang sebelumnya dipandang buruk dan busuk, kini justru dikibarkan tak malu-malu, secara personal bahkan ramai-ramai berjamaah.

Tengoklah, walau kini kelicikan dan ketamakan Cupak kurang diapresiasi lagi di arena pentas seni, tapi roh dan spiritnya diusung, menyelinap dalam prilaku kehidupan nyata. Penggambaran konvensi Cupak secara fisik dengan perwatakannya, dapat dipahami bila ia dengan keji mengkhianati adiknya, Gerantang.

Tetapi di dunia nyata, atmosfirenya, tidak sehitam putih seperti ditampilkan dalam teater atau yang dilantunkan gaguritan serta juga yang dituturkan dongeng. Kehidupan dunia nyata berselimut awan abu-abu.

Kulit tidak selalu mewakili isi. Bisa jadi, orang yang tampak seperti I Gerantang yang santun, polos, sederhana, justru adalah I Cupak bak musang berbulu domba.

Penulis, pemerhati seni budaya dosen ISI Denpasar.

BAGIKAN