Sejumlah pengunjung sedang makan di salah satu mal yang berlokasi di Kuta, Badung. Berbagai dampak ekonomi akan terjadi dengan kenaikan PPN 12 persen. (BP/Melynia Ramadhani)

DENPASAR, BALIPOST.com – Berbagai dampak ekonomi akan terjadi dengan kenaikan PPN 12 persen. Selain pelaku usaha akan semakin terhimpit, pertumbuhan ekonomi juga akan terkoreksi.

Menurut Akademisi Universitas Udayana Putu Krisna Adwitya, Sabtu (16/11) kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen akan semakin memperburuk kondisi ekonomi dalam negeri. Karena saat PPN masih 11 persen saja, konsumsi rumah tangga menurun. Sementara sebelum terjadi Pandemi Covid-19, konsumsi rumah tangga tumbuh di kisaran 5 persen bila dilihat secara qtq.

Namun pascacovid-19, pertumbuhan konsumsi rumah tangga di kisaran 4,9 persen. “Kondisi ini bisa dijadikan gambaran bagi pemerintah bahwa PPN belum naik saja sudah terjadi penurunan pertumbuhan konsumsi rumah tangga,” tandasnya.

Mengingat PDB dan terutama PDRB Bali dari sisi komponen pengeluaran, penyumbang terbesarnya adalah konsumsi rumah tangga, sekitar lima puluhan persen, maka ke depan, sektor ini akan sangat terpukul dengan kenaikan PPN 12 persen.

“Salah satu faktor pen-drive ekonomi Indonesia kan konsumsi rumah tangga. Nah kalau dengan adanya kenaikan PPN menjadi 12 persen, apa tidak akan mendegradasi pola konsumsi rumah tangga? Kalau itu terjadi, ya pertumbuhan ekonomi bisa terkoreksi,” tandasnya.

Baca juga:  Hingga 20 November, Pasokan Air Bersih ke Kuta dan Kuta Selatan Tersendat

Sementara pelaku usaha senior Panudiana Kuhn, Minggu (17/11) mengatakan, kenaikan PPN 12 persen akan memperberat kondisi dunia usaha. Selain Sritex, menurutnya akan ada lagi perusahaan yang akan kesulitan bahkan pailit dengan kondisi ini.

“Pajak tinggi-tinggi, perusahaan mau bangkrut apalagi perusahaan tekstil, garmen, ritel, bermasalah. Sebenarnya tarif 10 persen sudah bagus. Makin tinggi tarif pajak, makin berat untuk pengusaha,” ungkapnya.

Kuhn mengatakan PPN merupakan pajak final. Misalnya pendapatan pelaku usaha Rp1 M, dikenai pajaknya Rp120 juta. “Baju, suvenir, oleh-oleh, termasuk barang-barang di mal, ini yang kena 12 persen, yang narik kantor pajak bukan Dispenda. Ini yang kena pajak 12 persen lokal bisnis, kalau ekspor, kan tidak,” jelasnya.

Menurutnya kenaikan pajak ini lebih merugikan ke pelaku usaha baik industri dan pabrik di tengah kondisi ekonomi dalam negeri sedang tidak baik. “Pabrik garmen pun sekarang sudah pada bangkrut, pabrik sepatu, pabrik elektronik, tekstil, sudah pada gulung tikar karena banyak garmen impor dari China. Sritex saja yang the biggest company di Asia Tenggara, bangkrut. Aset hanya Rp15 T, sedangkan hutangnya Rp25 T,” ungkapnya.

Lanjutnya, PPN dikenakan pada customer dengan harga barang atau jasa yang dinaikkan, di tengah daya beli masyarakat sedang turun, maka akan menurunkan tingkat pembelian atau penjualan barang atau jasa dan dunia usaha makin terhimpit.

Baca juga:  Di Karangasem, BBPOM Temukan 10 Sampel Mengandung Rhodamin

“Pengusaha keberatan dengan kenaikan PPN menjadi 12 persen ini karena ekonomi sedang tidak baik. Apalagi Trump menang, dolar menguat dan rupiah melemah,” ujarnya.

Menurutnya saat ini sedang banyak terjadi  PHK baik di Eropa, Amerika termasuk Indonesia. Seperti 79 outlet KFC ditutup karena resesi dunia, dan daya beli menurun. Sehingga saat ini hukan saat yang tepat menaikkan pajak. Namun pemerintah juga mengalami kesulitan, dengan sefisit APBN Rp309 T pada November 2024.

Ia berharap pendapatan negara dari pajak ini tidak dikorupsi karena dapat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Sebelumnya Menkeu Sri Mulyani mengatakan, kenaikan PPN 12 persen merupakan amanat UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dalam pasal 17 ayat (3) UU HPP juga terdapat ketentuan mengenai tarif PPN dapat diubah menjadi minimal 5 persen dan maksimal 15 persen.

Namun, tidak semua barang dan jasa dikenai pajak ini. Sejumlah barang dan jasa yang tidak dikenai PPN 12 persen diantaranya, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering. Uang, emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan surat berharga juga tidak dikenai PPN 12 persen.

Baca juga:  Komplotan Bermodus Undian Berhadiah Dibekuk, Korban Rugi Rp800 Juta

Selain itu berdasarkan PMK nomor 116 /2017, barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN 12 persen yaitu, gabah, jagung, sagu, daging segar dari hewan ternak dan unggas, telur, buah-buahan, sayur-sayuran segar, umbi-umbian segar, bumbu-bumbuan segar, gula konsumsi, semuanya dengan spesifikasi tertentu.

Jasa yang tidak dikenakan PPN 12 persen yaitu jasa keagamaan, jasa kesenian dan hiburan, jasa perhotelan, jasa penyediaan tempat parkir, jasa boga atau katering, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa tenaga kerja, jasa angkutan umum di darat, air, dan air serta angkutan udara dalam negeri yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan luar negeri, jasa pelayanan kesehatan medis tertentu dan yang berada dalam sistem program JKN, jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menyelenggarakan permintaan secara umum. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN