Oleh I Made Bram Sarjana
Sebagian warga kota penikmat kuliner ala Eropa tentu telah familiar dengan sandwich (roti lapis). Mengacu pada eksiklopedia Britannica, roti lapis ini ditemukan pada abad ke -18 di Inggris.
Nama sandwich mengacu pada seorang bangsawan Inggris, John Montagu, yang bergelar Earl of Sandwich ke-4. Sang bangsawan disebut selalu meminta dibuatkan makanan padat berupa roti lapis yang di dalamnya terdapat daging, sayur, keju dan sebagainya agar dapat tetap bermain kartu sembari makan. ”Invensi kuliner” ini yang kemudian dinamakan sandwich, sesuai nama sang inventor.
Konsep sandwich digunakan pula sebagai sebuah konsep dalam demografi. Menurut Alburez et al., (2021) sandwich merupakan konsep umum yang digunakan untuk menggambarkan kaum perempuan yang menanggung beban ganda karena melakukan aktivitas perawatan anggota keluarga secara informal dan sekaligus tanggung jawab profesional di tempat bekerja.
Sementara Boyczuk & Fletcher (2016) menjelaskan bahwa generasi sandwich menggambarkan individu yang terjebak di antara tuntutan yang saling bersaing dalam mengasuh setidaknya satu anak tanggungan dan satu atau lebih orang tua yang menua. Salah satu pemicu terjadinya fenomena generasi sandwich adalah meningkatnya umur harapan hidup penduduk yang berimplikasi pada meningkatnya jumlah penduduk usia tua.
Sebagian penduduk usia tua ini telah tidak aktif bekerja sehingga tidak memiliki penghasilan rutin serta karena faktor usia pula, kesehatannya rentan. Di sisi lain, jumlah penduduk usia muda dan usia produktif juga tinggi, namun sebagian belum memiliki penghasilan untuk membiayai hidupnya.
Akibatnya terdapat satu generasi yang berada di tengah-tengah dan seolah terjepit oleh dua lapisan generasi di atas dan di bawahnya. Akibatnya selain harus mampu membiayai diri sendiri, mereka juga harus merawat dan membiayai orang tua sekaligus anak-anaknya.
Indonesia termasuk di Bali, telah mengalami fenomena generasi sandwich. Selain faktor demografi, faktor budaya kekerabatan yang kuat membuat fenomena generasi sandwich telah jamak ditemukan di masyarakat. Data BPS tahun 2020 menunjukkan sekitar 71 juta penduduk Indonesia tergolong sebagai generasi sandwich. Selanjutnya data BPS tahun 2019-2021 menunjukkan bahwa Provinsi Bali merupakan provinsi dengan persentase rumah tangga generasi sandwich terbesar di Indonesia yaitu mencapai 30,01 persen.
Bagi masyarakat Bali yang memegang teguh adat dan budaya serta prinsip menyama braya, generasi sandwich merupakan suatu tanggung jawab yang mesti diemban karena rasa bakti dan kasih sayang kepada orang tua dan anak-anaknya. Kondisi ini tentunya menjadi suatu tantangan tersendiri bagi rumah tangga yang tergolong generasi sandwich.
Di ruang domestik mereka harus merawat orang tua dan anak, sedangkan di ruang publik juga harus memenuhi tuntutan pekerjaannya. Tambahan beban lainnya terdapat di ruang komunitas adat, karena ada pula kewajiban untuk tetap berkontribusi dalam berbagai aktivitas adat-menyama braya yang juga membutuhkan dana, waktu dan tenaga.
Beban sosial ekonomi dan budaya 30 persen rumah tangga di Bali tersebut sudah selayaknya menjadi perhatian para pembuat kebijakan pembangunan, agar mereka tetap memiliki fundamen sosial ekonomi yang kuat dan berbahagia walau mengemban beban berat. Berbagai kebijakan pembangunan perlu dirancang dan dilaksanakan untuk meringankan beban rumah tangga generasi sandwich.
Ahmad et al., (2012) misalnya, menekankan pada pentingnya kebijakan yang berorientasi pada perluasan jaminan sosial. Dalam konteks Bali berbagai kebijakan yang sudah ada perlu dioptimalkan antara lain seperti layanan home care bagi warga lansia, layanan penitipan pengasuhan anak, layanan jemput-antar ke sekolah, penyediaan ruang kerja kreatif bagi generasi muda, perluasan lapangan pekerjaan berbasis industri kreatif, serta perluasan cakupan jaminan kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan.
Generasi sandwich merupakan pilar pembangunan di masa kini yang menentukan keberlanjutan pembangunan Bali di masa depan. Rumah tangga generasi sandwich ini pula yang sedang mengemban tugas mempersiapkan generasi muda Bali untuk meraih impian Indonesia Emas 2045. Tanpa adanya berbagai kebijakan yang secara spesifik menyentuh generasi sandwich, cita-cita Indonesia Emas 2045 terancam hanya menjadi impian yang sulit menjadi kenyataan.
Penulis adalah Analis Kebijakan pada BRIDA Kabupaten Badung