DENPASAR, BALIPOST.com – Pariwisata Bali berubah sangat cepat, namun perubahan yang terjadi tidak diantisipasi dengan kebijakan untuk mengantisipasinya. Kemacetan dan lainnya justru dibiarkan tanpa langkah antisipasi yang cepat. Hal itu diungkapkan pengamat pariwisata I Made Sulasa Jaya, Selasa (3/12).
Menurutnya perlu dilakukan survei jumlah orang Bali yang bekerja di pariwisata di Bali dibandingkan pendatang yang bekerja di Bali. Lakukan pengawasan ketat tentang persyaratan investor agar mempertimbangkan budaya Bali. ‘’Bahkan memprioritaskan krama Bali bekerja di Bali menjadi paket dengan izin berinvestasi di Bali,” bebernya.
Dia mengatakan, perubahan pariwisata Bali terlihat dari jumlah kunjungan. Kedatangan wisman ke Bali tahun 2019 berjumlah 6,2 jutaan, sedangkan sampai September 2024 jumlah kunjungan 4,7 juta. Meski jumlah kunjungan belum pulih namun dampak kemacetan lalu lintas sangat terasa.
Menurutnya bukan hanya wisatawan yang menjadi tidak nyaman, tapi masyarakat lokal pun akan merasa tidak nyaman. “Akibatnya kualitas pelayanan kepada wisatawan juga akan terus menurun,” imbuhnya.
Sulasa mengatakan kedatangan wisman kebanyakan bergroup (GIT) sedangkan saat ini kebanyakan FIT. Masa tinggal saat ini juga cenderung lebih lama karena ada visa yang memungkinkan untuk itu.
Hal itu membuat wisatawan yang berwisata memiliki kesempatan sambil bekerja termasuk buka pabrik obat terlarang. Dikatakannya, kebijakan pemerintah sangat berpengaruh terhadap perubahan pariwisata Bali, termasuk permasalahan yang terjadi di Bali saat ini.
“Kebijakan visa memengaruhi lama tinggal salah satunya untuk memfasilitasi pekerja asing sebagai insentif atas paket investasi asing di Indonesia,” ujarnya.
Pemimpin Bali ke depan wajib memperhatikan dan berbuat sesuatu secepatnya, berlomba dengan kecepatan perubahan untuk menjaga agar keadaan ini tidak berkelanjutan. Ia khawatir pembangunan budaya Bali yang berbasis ajaran agama Hindu yang mendongkrak pariwisata justru lebih banyak dirasakan masyarakat pendatang. (Citta Maya/balipost)