DENPASAR, BALIPOST.com – Kesaksian warga sekitar PLTU Celukan Bawang diungkap Greenpeace dalam kunjungannya di Bali. Dalam sebuah video yang diputar, Senin (16/4) terdapat sejumlah kesaksian petani dan nelayan yang hidup di sekitar kawasan pembangkit listrik itu.
PLTU Celukan Bawang merupakan satu-satunya pembangkit di Bali yang menggunakan batu bara. Padahal di dunia penggunaan batu bara mulai dikurangi termasuk Cina. Namun, China Development Bank justru membiayai PLTU Celukan Bawang. PLTU Celukan Bawang bahkan berencana menambah kapasitasnya 2 kali 330 MW.
Ketut Mangku Wijana (56), warga Desa Tinga-tinga Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng dalam video yang diputar Greenpeace mengatakan, ia memiliki luas lahan pohon kelapa 3,6 hektare. Usaha perkebunan itu telah berjalan sejak 1978 hingga kini.
Namun sejak 2015 saat PLTU Celukan Bawang dibangun, kualitas pohon kelapanya yang letaknya bersebelahan dengan pembangkit itu berubah. Warna daun kelapa menjadi berwarna hijau gelap, buahnya jadi mengecil dan berkurang. Dulu ia bisa menghasilkan 9.500 – 9.800 butir kelapa. Kini menurun, hanya mencapai 2.500 butir. “Saya merasakan dampak langsung dari pembakaran batu bara, bau menyengat, gatal di kerongkongan sampai kering. Akhirnya batuk,” tuturnya.
Anggota Kelompok Nelayan Bakti Kosgoro Celukan Bawang, I Putu Gede Astawa, juga mengalami nasib sama. Ia mengatakan, hasil tangkapan ikannya menurun. Menerima kenyataan dari hasil menjadi nelayan tak lagi menguntungkan, ia beralih ke usaha mebel.
Padahal, penghasilannya dari nelayan sebelum adanya PLTU, cukup bagus. “Jika musim ikan ekor merah, hasilnya banyak. Kami hanya cukup menempuh 500 meter dari tepi pantai untuk mendapatkan ikan itu,” tuturnya dalam sebuah video yang diputarkan Greenpeace.
Sekarang ia harus menempuh jarak berkilo-kilo untuk mendapatkan ikan. Selain itu hasil tangkapannya juga menurun. Dulu 200- 300 ember ikan bisa didapatnya, sekarang telah berkurang. “Semenjak ada PLTU, air laut menjadi panas. Saat malam, cuaca laut memang hangat tapi sekarang jadi panas,” ungkapnya.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Didit Haryo mengatakan, PLTU Celukan Bawang dipaksakan beroperasi sebelum ada kejelasan mengenai pengelolaan batu bara sisa pembakaran. “Dampaknya sangat luas. Tidak hanya profesi yang ada di sekitarnya tapi juga hewan di daerah sana,” sebutnya.
Ia melaporkan adanya ancaman habitat burung Jalak Bali. PLTU Celukan Bawang yang jaraknya 42,25 km dari Taman Nasional Bali Barat (TNBB) mengancam kehidupan burung Jalak Bali. Bahkan dikatakan kondisinya kini kritis.
Ia menyayangkan lemahnya pemantauan atas buangan yang dihasilkan dari PLTU Celukan Bawang. Penambahan kapasitas pembangkit itu juga tidak termasuk dalam RUPTL. “Perencanaan Amdalnya sangat buruk,” ungkapnya.
Maka dari itu, Greenpeace bersama LBH Bali yang membawa suara masyarakat melakukan gugatan. Director LBH Bali Dewa Putu Adnyana, SH mengatakan, poin-poin penting gugatan masyarakat yaitu, rencana penambahan kapasitas pembangkit dua kali 330 MW tidak masuk dalam RUPTL, sehingga berpotensi menimbulkan kerugian negara. Selain itu ada kaitan dampak penurunan kualitas udara bahwa, rona awal dalam Ka Andal dan Andal tidak menyajikan muatan deskripsi rona lingkungan hidup awal secara rinci dan mendalam. Penyusunan Amdal tidak dilakukan dengan menggunakan data dan metodologi yang sahih serta sesuai dengan kaidah ilmiah, dll. (Citta Maya/balipost)