Oleh Ni Luh Nyoman Sherina Devi
ChatGPT, Gemini, CoPilot, Dall-e. Mungkin beberapa atau bahkan semua nama tersebut pernah kita dengar atau gunakan. Perkembangan teknologi yang pesat dan dinamis membuat dunia terasa berbeda dibandingkan beberapa dekade yang lalu. Banyak penciptaan alat yang bertujuan memudahkan pekerjaan manusia, salah satunya kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI).
Teknologi diibaratkan pisau bermata dua – tidak hanya memberikan manfaat dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, namun sekaligus menghadirkan berbagai tantangan dan ancaman. Ketergantungan pada teknologi, privasi dan keamanan data, penyalahgunaan teknologi, serta pelanggaran etika kini membayangi pengadopsian teknologi.
Pada dasarnya, teknologi AI berusaha meniru manusia dalam menghasilkan suatu keputusan, dengan pengetahuan atau pola yang dimiliki manusia untuk membuat keputusan tersebut. ChatGPT, Gemini, CoPilot, dan lain-lain yang disebutkan di awal adalah contoh platform AI yang populer.
Google, Microsoft, Apple, dan Tesla merupakan beberapa brand kelas dunia yang telah masuk ke ranah AI. Tanpa inovasi AI, mereka berpotensi tertinggal dari pesaingnya. Sistem AI mempelajari data dan secara bertahap meningkatkan kinerjanya tanpa perlu pemrograman eksplisit, memungkinkan AI untuk beradaptasi dengan lingkungan yang dinamis serta membuat prediksi secara akurat. Algoritma deep learning dalam AI unggul dalam berbagai tugas, seperti pengenalan gambar, pemrosesan bahasa alami, dan sintesis suara.
Natural Language Processing (NLP) memungkinkan komputer untuk memahami, menganalisis, dan menghasilkan bahasa manusia, termasuk tugas-tugas seperti analisis sentimen, peringkasan teks, dan terjemahan otomatis. Apabila dipergunakan dengan benar, AI bisa menjadi ‘kawan’ dalam berbagai bidang, seperti peningkatan efisiensi pekerjaan atau pengambilan keputusan yang lebih cepat dan tepat.
Namun, AI juga bisa menjadi ‘lawan’ jika tidak dikendalikan dengan baik. AI bisa menjadi alat bagi pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak etis.
Penyalahgunaan teknologi AI untuk memanipulasi atau membuat konten palsu dapat menyesatkan masyarakat, mengancam privasi, atau bahkan membahayakan keamanan. Namun, kecanggihan AI menjadi isu krusial khususnya di bidang pendidikan. Penggunaan AI menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya integritas akademik, di mana terdapat ancaman plagiarisme, ketidakjujuran, dan misinformasi. Peserta didik yang menggunakan AI terancam mengalami ketergantungan pada teknologi AI, yang dapat mengikis kemampuan mereka untuk berpikir kritis serta kemampuan menyelesaikan tugas secara mandiri.
Menyikapi keresahan penggunaan AI tersebut, pada bulan Oktober 2024 Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia pun turun tangan dan merilis Panduan Penggunaan Generative Artificial Intelligence (GenAI) Pada Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Panduan ini ditujukan bagi para mahasiswa dan dosen, untuk memastikan AI digunakan secara bijak, etis, dan bertanggungjawab dalam proses pembelajaran.
Sebelumnya, UNESCO pada tahun 2022 telah merilis Recommendations on the Ethics of Artificial Intelligence, sebagai panduan kebijakan, aturan, dan pedoman praktis untuk memastikan penggunaan AI yang etis dan bertanggung jawab di tingkat global.
Pada hakikatnya, AI merupakan alat yang berfungsi untuk membantu umat manusia, bukan sebagai pengganti peran manusia. Bagaimanapun canggihnya, AI tidak akan mampu menggantikan manusia dalam hal originalitas dan kreativitas. Sesuatu yang unik dan memiliki ‘jiwa’ hanya bisa diciptakan oleh manusia. Banyak yang berpendapat bahwa penggunaan AI identik dengan plagiarisme atau hal-hal negatif.
AI mungkin saja disalahgunakan, tetapi mungkin juga dipergunakan secara positif. AI dapat berperan sebagai alat untuk mempercepat proses pembelajaran dan pengembangan diri, terutama dalam dunia pendidikan dan profesional. AI dapat dimanfaatkan untuk belajar, brainstorming, membuat study plan, literature mapping, proofreading, hingga meminta umpan balik dalam rangka meningkatkan kualitas karya yang kita buat.
Dengan memanfaatkan AI secara bijak, pengguna dapat meningkatkan efisiensi kerja, menemukan solusi kreatif untuk masalah kompleks, serta mengakses sumber daya dan informasi yang relevan secara lebih cepat.
Peran AI atau kecerdasan buatan sebagai kawan atau lawan bergantung pada bagaimana teknologi ini diintegrasikan dalam kehidupan dan diatur dengan kebijakan yang tepat agar memberikan manfaat maksimal tanpa mengorbankan nilai-nilai sosial. Pilihan ada di tangan kita: apakah kita akan merugikan diri sendiri dengan menyalahgunakannya, atau kita gunakan teknologi dengan bijak untuk meningkatkan kualitas diri?
Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Akuntansi, FEB Universitas Udayana, Angkatan 4