DENPASAR, BALIPOST.com – Tidak menjual pariwisata Bali dengan harga yang murah menjadi agenda pelaku pariwisata tahun depan. Hal itu menjadi komitmen seiring dengan kebijakan baru dari pemerintah pusat, salah satunya kenaikan PPN menjadi 12 persen.
Ketua Asita Bali Putu Winastra mengatakan pada 2025 meski banyak tantangan, pihaknya optimis lebih baik dari 2024. Hal itu dianalisa dari kondisi triwulan I 2025. “Kita lihat triwulan 1 2025 seperti apa, kalau kondusif, tidak ada hal-hal yang menjadikan negatif, maka saya yakin 2025 akan lebih baik,” ujar Winastra belum lama ini.
Kenaikan PPN 12 persen, menurutnya, tidak akan berdampak signifikan terhadap industri pariwisata. Justru momen ini menjadi waktu yang tepat untuk mengemas paket wisata berkualitas. “Maka saya harap stakeholder pariwisata berkomitmen menjaga kualitas dengan tidak menjual murah Bali sehingga siapapun yang datang ke Bali mendapat kualitas yang baik dengan harga bersaing,” katanya ditemui pada acara Asita Year and Gathering.
Maka di penghujung tahun 2024, ia memberikan awarding pada stakeholder yang telah membantu meningkatkan kualitas pariwisata Bali dengan konsep sinergi dan kolaborasi.
Semetara Ketua PHRI Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati mengatakan, banyak kebijakan baru tahun 2025, namun ia yakin pariwisata Bali tetap eksis da meningkat seiring berwisata kini telah menjadi tren bagi masyarakat global. “Cuma yang menjadi persoalan adalah apakah pariwisata budaya masih bisa kita pertahankan ke depan ataukah beralih ke konsep pariwisata yang lain karena sekarang kita harus mengikuti keinginan pasar,” ujarnya.
Persoalan eksternal seperti persaingan, promosi negara lain ke luar negeri juga dilakukan secara besar-besaran, bersama pemerintahnya untuk memajukan pariwisatanya. Sementara pariwisata di Bali masih berjalan sendiri-sendiri. Masalah internal tak kalah hebatnya diantaranya persaingan GIPI Bali menghadapi pesaing dengan pemodal- pemodal besar.
“Sehingga kondisi ini cenderung mematikan pelaku usaha lokal di Bali. Belum lagi persoalan yang dihadapi Asita, agen online dan sebagainya, seharusnya ada nilai lebih yang bisa menjadi kekuatan agen kita, hanya saja belum tersambung antara event besar dan menarik yang ada di Bali dengan agen kita sehingga informasinya tidak sampai. Sedangkan agen luar tidak akan tahu. Misalnya ada event ngaben di Ubud, mungkin hanya wisatawan yang kebetulan ada di Ubud saja yang dapat menyaksikan, tapi tidak pernah kita kemas menjadi peristiwa budaya di Bali,” bebernya.
Jika penjelasan tentang budaya Bali termasuk peristiwa budaya semakin berkurang kualitasnya, maka wisatawan yang datang ke Bali tidak melihat budaya lagi namun melihat atraksi atraksi buatan. “Jika itu menjadi tujuan wisatawan ke Bali, maka ke depannya inilah yang akan tumbuh di Bali. Ketika tumbug di Bali, tantangan kita ke depan adalah tradisi, budaya Bali kita akan semakin terpinggirkan,” tandasnya.
Maka dari itu ke depan masyarakat Bali harus bersatu menyelamatkan Bali dan sendi-sendi ekonomi Bali ke depan. Ia yakin posisi Bali yang strategis akan terus meningkatkan pariwisata dan ekonomi Bali namun peningkatan tersebut dikhawatirkan menggerus budaya Bali yang selama ini menjadi penopang pariwisata Bali. (Citta Maya/balipost)