NEGARA, BALIPOST.com – Desa Manistutu merupakan salah satu desa adat di Kecamatan Melaya. Memiliki letak geografis di perbukitan dan berbatasan langsung dengan hutan.
Di desa adat ini juga terdapat bendungan Benel yang beroperasi sejak 2007 lalu dan menjadi sumber pengairan untuk pertanian di sejumlah subak di Negara dan Melaya, serta berfungsi sebagai sumber air minum.
Sebagian besar penduduk bermata pencaharian pertanian dan peternakan, terbagi menjadi sejumlah banjar adat.
Dulu kawasan ini sebelum ditempati sebagai permukiman merupakan kawasan hutan.
Sebagian besar masyarakat yang menetap sekarang merupakan warga dari sebelah timur, yang membuka lahan untuk perkebunan seperti dari desa Berangbang dan desa Kaliakah hingga Desa Pendem.
Bendesa Adat Manistutu, Wayan Reden mengatakan wilayah Desa Adat Manistutu hampir sebagian besar merupakan lahan perkebunan dan pertanian yang juga menjadi sumber penghasilan masyarakat. Mayoritas krama merupakan dulunya datang dari desa sekitar yang berbatasan.
Dulunya di wilayah Desa Manistutu ini sebelum menjadi desa definitif, masih hutan lebat. Jadi lahan kebun warga, dan mulai berdatangan warga tinggal.
Karena belum ada namanya, nama dari Desa Manistutu ini juga tak lepas dari aktivitas masyarakat waktu membuat lahan kebun dulu. Sebelum ada rumah-rumah, warga sering mondok karena jarak rumah dengan kebun yang jauh.
saat mondok itu sering mendengar kicauan burung tuwu-tuwu yang sangat indah atau manis, maka daerah ini disebut manis tuwu-tuwu. Berkembang agar mudah disebut, menjadi manistutu.
Saat itu, wilayah Desa Manistutu masih jadi satu dengan Desa Tukadaya. Sehingga, saat ini aliran sungai yang berada di desa manistutu masih dinamai sungai Tukadaya. Desa baru Manistutu terbentuk dan terpisah dengan Desa Tukadaya setelah terbentuk beberapa wilayah atau banjar sekitar tahun 1938.
Dibangunnya Tugu Ketiman di Banjar Ketiman yang menjadi titik sentral Desa Manistutu juga menandai mulai terbentuknya struktur desa. Wilayah terus berkembang terbagi menjadi beberapa banjar di antaranya Katulampa, Kemoning, Pendem hingga Benel.
Bendesa menguraikan, nama-nama banjar itu juga diambil dari pohon atau burung yang sering ditemui di sekitar lokasi banjar. (Surya Dharma/balipost)