Petugas sedang mengevakuasi wisatawan dengan perahu karet saat banjir di kawasan Legian, Badung, Minggu (22/12). Semakin tahun, kerusakan alam lingkungan Bali semakin menjadi-jadi. Bencana hidrometerologi mulai dari banjir, pohon tumbang dan tanah longsor makin sering terjadi. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Semakin tahun, kerusakan alam lingkungan Bali semakin menjadi-jadi. Bencana hidrometerologi mulai dari banjir, pohon tumbang dan tanah longsor makin sering terjadi. Ironisnya, meskipun tiap tahun masalah ini diungkap, tidak ada yang peduli untuk melakukan tindakan mengurangi kerusakan. Padahal masalahnya sudah jelas, yakni tidak terkendalinya perkembangan ekonomi pariwisata Bali. Kondisi kerusakan lingkungan alam Bali akan menjadi pembuka laporan akhir tahun Bali Post.

Ketua Forum DAS Provinsi Bali Dr. I Made Sudarma, MS., mengatakan masalah kerusakan lingkungan akibat eksploitasi pengembangan pariwisata belum banyak menjadi perhatian yang sungguh-sungguh diselesaikan. Masalah ini lebih banyak disajikan dalam bentuk seminar, workshop, lokakarya, FGD dan lainnya tanpa memberikan tindak lanjut dan progres yang berarti dalam tataran implementatif. “Alam sudah memberikan banyak isyarat untuk kita berbenah. Jangan sampai masalah sampah,  bencana alam, kemacetan lalu lintas dan tanda-tanda alam lainnya akan menjadi bom ketiga atau Covid kedua bagi pariwisata Bali. Alam masih memberikan waktu dan kesempatan untuk kita berbenah,” tegas Sudarma.

Alih fungsi lahan yang marak dan tidak terhindarkan hampir terjadi di semua wilayah. Alih fungsi tidak hanya menyasar lahan sawah tetapi juga pada tempat dan lahan lain, seperti lahan di pegunungan, pebukitan,  hutan, tepi jurang (pangkung) dan tempat-tempat lainnya karena tempat ini mempunyai pemandangan eksotik dan sangat layak “dijual” dan diminati investor untuk kepentingan pariwisata.

Baca juga:  Hari Ini, Tambahan Dua Digit Kasus COVID-19 Masih Dicatatkan Bali

Pariwisata menurut Sudarma memang telah mendatangkan dolar dan kehidupan yang layak. Namun, jangan semua potensi yang ada dieksploitasi berlebihan demi mengejar pengakuan keberhasilan pembangunan ekonomi dalam bentuk PAD.

“Pernahkan kita menghitung berapa besar kerusakan lingkungan atas pencapaian PAD yang didapatkan dari pariwisata. Kita diminta menjaga dan memelihara warisan alam budaya yang adi luhung ini secara bijak agar indahnya alam Bali tidak menjadi sebuah dongeng dalam buku cerita atau dalam video untuk generasi Bali yang akan datang, seperti halnya kita melihat harimau bali yang punah dari buku cerita. Kata orang bijak-bila segelas air sudah dirasa cukup, kenapa mengejar seember air yang justru akan membuat tenggelam,” tandasnya.

Guru Besar Pariwisata Unud, Prof. I Nyoman Sunarta pernah mengibaratkan Bali seperti dongeng Angsa Bertelur Emas. Bali sebagai angsa bertelur emas oleh kerakusan pemiliknya, dipaksa untuk terus bertelur. Bahkan diakhir dongen, karena kerakusannya, pemilik angsa membedah perut si angsa karen berpikir akan mendapatkan telur emas lebih banyak lagi. “Nasib Bali bisa jadi seperti angsa bertelur emas. Karena dipaksa bertelur, angsa nya sampai dirusak,” ujarnya.

Prof. Sunarta mengingatkan, jika nanti alam Bali sudah rusak dan tidak lagi menarik bagi pariwista, maka bali akan ditinggalkan. Para investor akan mencari lagi daerah lainnya untuk dieksploitasi. Bali, hari ini sudah mulai mengalami kerusakan yang semakin parah. Tahun-tahun berikutnya akan semakin parah jika tidak ada yang peduli mengambil tingdakan nyata.

Baca juga:  Satroni Sejumlah Sekolah, Buruh Proyek Dibekuk

Sudarma mengatakan bumi saat ini menghadapi 3 krisis utama yang sering disebut The Triple Crisis of Earth yang saling terkait dan berdampak besar pada lingkungan, manusia, dan kehidupan secara keseluruhan. Ketiga krisis tersebut adalah krisis iklim, krisis keanekaragaman hayati dan polusi atau pencemaran. Ketiga krisis ini saling berkaitan, seperti perubahan iklim akan mengancam keanekaragaman hayati. Sementara pencemaran akibat menurunnya serapan emisi akan mempercepat krisis iklim.

Sudarma mengatakan, bahwa Bali juga sebagai salah satu kontributor terhadap terjadinya ketiga krisis tersebut. Alih fungsi lahan yang marak dan tidak terhindarkan hampir terjadi di semua wilayah. Alih fungsi tidak hanya menyasar lahan sawah tetapi juga pada tempat dan lahan lain, seperti lahan di pegunungan, perbukitan, hutan, tepi jurang (pangkung) dan tempat-tempat lainnya, karena tempat ini mempunyai pemandangan eksotik dan sangat layak “dijual” dan diminati investor untuk kepentingan pariwisata.

Banyak fasilitas pariwisata dibangun investor dengan memanfaatkan lahan sawah, hutan, hingga jurang. Mereka membeli lahan dengan harga yang murah karena letaknya di lokasi yang sulit dijangkau dan kemudian investor akan menyulapnya menjadi menarik dan menjualnya dengan harga yang mahal.

Baca juga:  Paslon Ungkapkan Arti Nomor Urut di Pilwalkot Denpasar

Lahan yang semula hanya ditumbuhi bambu, pohon-pohon besar dan juga semak-semak yang berfungsi sebagai pelindung jurang, secara ekonomi tidak banyak memberikan penghasilan pada petani pemilik lahan. Masuknya investor ke lokasi ini menjadi berkah bagi petani pemilik lahan, karena harga yang ditawar investor sangat tinggi dan sangat rasional bila pemilik lahan melepasnya karena manfaat ekonomi yang didapatkan jauh lebih besar dibandingkan dengan tetap mempertahankan lahan tersebut.

Perubahan fungsi lahan tersebut akan dapat meningkatkan kesejahteraan petani, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Petani merasa dirinya layak menjual tanah yang tidak memberikan keuntungan ekonomi. Inilah yang menjadi dasar mengapa lahan-lahan tersebut sangat mudah beralih fungsi.

Kue pariwisata memang sangat seksi dan menggiurkan di mata pemilik lahan dan dipihak pengambil kebijakan. Tidak salah kalau petani lebih suka melepas lahan sawahnya atau lahannya di pinggir jurang karena memberikan pendapatan yang tinggi.

Demikian juga di tingkat kebijakan pemerintah kabupaten/kota akan menggenjot pertumbuhan pariwisata sebagai sumber PAD untuk mendanai program pembangunan di daerahnya. Badung bisa berkontribusi ke kabupaten lainnya karena Badung memiliki PAD yang besar dari sektor pariwisata. Badung memanfaatkan sumberdaya lahannya untuk pariwisata dan nampaknya inilah yang akan dilakukan oleh kabupaten-kabupaten lainnya yang akan memanfaatkan setiap jengkal tanahnya untuk pariwisata. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN