Ketut Netra. (BP/Istimewa)

Oleh Ketut Netra

WA adalah seorang mahasiswa di Mataram penyandang disabilitas. Kedua tangannya buntung. Anehnya, seorang wanita pada 7 Oktober 2024 melaporkan WA ke Polda NTB bahwa wanita tersebut menjadi korban pelecehan seksual WA. Kini WA telah ditetapkan sebagai tersangka.

Lebih aneh lagi, alam perkembangan kasus ini, telah melapor 13 orang wanita yang menyatakan dirinya telah dinodai oleh WA. Sementara itu WA sebagai tersangka tetap tidak pernah mengaku.

Karena dia sebagai penyandang disabilitas mana mungkin melakuan hal tersebut. Dalam hal ini penulis akan mencoba mengurai kasus ini tanpa mengorbankan hak-hak tersangka sebagai penyandang disabilitas. Sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Bahwa, filosofi dibuatnya undang-undang ini adalah pemerintah tidak menghendaki adanya diskriminasi terhadap disabilitas.

Oleh karena itu maka, seorang disabilitas antara lain telah ditetapkan mempunyai hak-hak: Hak kesetaraan, hak pemenuhan kebutuhan khusus, hak pendampingan sosial dan sebagainya. Saat ini kasus tersebut sudah sampai tahap penyidikan oleh Polda NTB. Dan tersangka telah ditahan sebagai tahanan kota.

Baca juga:  Tumpek Uye, Spirit Saling Menghidupi

Agar kasus ini berjalan secara transparan sesuai dengan hukum yang berlaku, maka perlu peran serta pihak terkait misalnya: penyidik, kejaksaan, Komisi Nasional Disabilitas (KND), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan lembaga bantuan hukum. Semua Lembaga tersebut hendaknya dapat bekerja sama dengan baik, untuk mendapatkan hasil yang lebih sempurna.

Dimulai dari penyidikan. Mengingat tersangka tidak pernah mengaku karena dalih kecacatannya. Maka ada kemungkinan tersangka tidak akan mengakui berita acara pemeriksaan dia sebagai tersangka,
termasuk menyangkal berita acara rekonstruksi. Ini adalah sangat logis karena hal itu merupakan hak tersangka untuk menyangkal.

Baca juga:  Penciptaan Wirausaha Baru, Pemkab Libatkan Penyandang Disabilitas

Namun perlu diingat bahwa penyidik tidak perlu memeras pengakuan tersangka, karena
pengakuan dalam hukum acara pidana di Indonesia bukan sebagai alat bukti. Demikian juga secara formal jika tersangka tidak mau menandatangani berita acara pemeriksaan, pihak kejaksaan
tidak perlu menyatakan bahwa secara formal hasil pemeriksaan belum lengkap.

Namun, ada jalan ke luar dengan cara membuat berita acara bahwa tersangka tidak mau menandatangani berita acara. Dari segi penahanan, mengingat tersangka saat ini sebagai tahanan kota.

Kiranya lebih baik kalau ditetapkan sebagai tahanan rutan. Karena walaupun tersangka disabilitas secara fisik namun dia mempunyai kecerdasan intelektual yang cukup. Ada kemungkinan tersangka akan mengancam para korban jika tersangka ditahan di luar rutan.

Terbukti ada video tersangka yang menakut-nakuti korban jika korban memblok nomor HP ibu tersangka. Penempatan tersangka di dalam rutan memudahkan pengawasan terhadap tersangka, terutama terhadap keamanan dirinya, tanpa mengurangi hak-haknya sebagai disabilitas. Jika di dalam rutan, KND tetap bisa melaksanakan advokasi dan pendampingan serta pemenuhan kebutuhan khususnya tetap dapat dilaksanakan.

Baca juga:  Dana Bergulir Krama Disabilitas di Desa Adat Penyaringan Dipertanyakan

Demikian juga konsultan hukum tetap dapat menjalankan tugasnya di tempat yang sama. Sebaliknya di pihak korban. Agar kasus ini berjalan lebih fair sebaiknya para korban yang juga nanti sebagai saksi di persidangan, mohon kepada LPSK agar para korban mendapat perlindungan, dengan maksud para korban steril dari ancaman, dan kesaksian yang diberikan nanti tidak tercemar oleh pengaruh pihak lain.

Pembuktian kecerdasan tersangka sangat penting untuk membuktikan niat (mens rea). Maka di samping keterangan saksi-saksi yang objektif, mutlak perlu keterangan ahli psikologi.

Penulis, Pensiunan Jaksa

BAGIKAN