Prof. Wayan Suartana. (BP/Dokumen)

Oleh I Wayan Suartana

Berita yang menyatakan bahwa Bali destinasi wisata yang tak layak dikunjungi tahun 2025 menjadi bahan introspeksi bagi seluruh pemangku kepentingan jengah memperbaiki diri. Informasi tersebut memang tidak bisa dijadikan rujukan karena belum jelas metodeloginya. Harus diakui sebagai umpan balik tanpa ada sinyal tersebut pun waktu untuk berbenah segera dimulai. Proses bisnis internal pariwisata menjadi lokus perbaikan berkelanjutan dan holistik.

Sudah jamak diketahui bahwa perekonomian Bali tergantung dari sektor pariwisata. Saat pandemi Covid -19 melanda dunia, kontraksi pertumbuhan ekonomi Bali sangat dalam.

Pertumbuhan ekonomi Bali sampai menyentuh angka minus 10 persen suatu level yang membahayakan. Semuanya dampak dari pembatasan bepergian dan mobilitas sosial yang terbatas. Pertengahan tahun 2022 geliat pariwisata mulai meningkat. Hotel-hotel mulai terisi dan restauran ada pengunjungnya. Malah Tahun 2023 kunjungan wisatawan naik di atas 100 persen dari tahun sebelumnya.

Sektor pariwisata menjadi penyumbang signifikan bagi PDRB dan kemampuan fiskal daerah. Tiga hal mendasar dihasilkan pariwisata Bali yaitu penerimaan devisa dan pendapatan asli daerah (PAD), pengungkit lapangan kerja dan kesempatan berusaha yang semakin luas. Untuk yang terakhir yaitu kesempatan yang luas tersebut harus memberikan proteksi kuat bagi kelangsungan usaha-usaha lokal. Di sini letak titik kritisnya.

Baca juga:  Kepemimpinan Wanita Menyongsong Indonesia Emas 2045

Disinyalir usaha-usaha berskala besar sampai usaha mikro pun dimiliki oleh WNA. Karena itu, marjinalisasi jangan sampai menjadi mimpi buruk bagi masyarakat Bali. Krama Bali wajib meningkatkan produktivitasnya, belajar dan mampu bersaing. Bali jangan jadi sapi perahan dan menerima sampahnya tetapi hasilnya entah dibawa ke mana. Inilah agenda pariwisata yang harus mulai dipecahkan pada tahun 2025.

Pariwisata Bali yang dibangun berbasiskan budaya dengan budaya sendiri  diartikan secara luas. Budaya juga menyangkut etos kerja krama Bali ikut menjadi pelaku. Desa Adat sebagai garda terdepan menjaga budaya seharusnya mengembangkan sebuah portofolio dan lansekap pemikiran bahwa krama adat mempunyai kemampuan mengembangkan desanya tidak sebatas rutinitas tetapi ada inovasi dalam konteks keberlanjutan ekonomi dan budaya. Tidak saling meniadakan (trade off) tetapi saling melengkapi. Keberlanjutan dan ketahanan ekonomi Bali disertai juga dengan keberlanjutan dan ketahanan budaya.

Kondisi Internal dan Eksternal

Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) tahun 2025 akan berpengaruh terhadap industri pariwisata Bali. Kenaikan ini dikuatirkan akan mempengaruhi biaya bahan baku dan over head hotel dan restauran. Dalam kondisi seperti ini, pilihan terakhir pengusaha akan menaikkan harga kamar ataupun makanan/minuman paling tidak sedikit di atas titik impasnya. Kenaikan akan berhadapan dengan kompetisi baik di Indonesia maupun destinasi wisata luar negeri. Kemungkinan seleksi alam yang akan terjadi. Namun, diprediksi hal tersebut akan teredam bila harga tiket pesawat terbang diturunkan. Diharapkan penurunan harga tiket menjadi kompensasi yang cukup  terhadap kenaikan biaya operasional hotel dan restauran.

Baca juga:  Integritas

Untuk eksternal, secara parsial penguatan mata uang asing terhadap rupiah di atas kertas akan membuat daya beli wisatawan meningkat namun saat bersamaan komponen impor industri pariwisata akan meningkat pula. Ada semacam insentif untuk bepergian karena tempat yang dituju murah akibat mata uangnya terdepresiasi.

Kondisi eksternal tahun 2025 jelas akan mempengaruhi pariwisata meski diyakini magnitudenya kecil. Adanya perang dagang AS Cina, konflik Rusia-Ukrania dan Timur Tengah akan berpengaruh tetapi besarannya tidak signifikan, karena justru masalah eksternal ini secara personal bisa jadi akan membuat relaksasi kehidupan warganya meningkat asalkan mempunyai kemampuan finansial. Berwisata merupakan kebutuhan dasar.

Baca juga:  Alumni PGSD, Anak Tiri Pendidikan?

Memenuhi Janji Kampanye

Bali tahun 2025 mempunyai pemimpin baru baik kabupaten/kota maupun provinsi. Bila dicermatii janji-janji kampanye banyak berbicara soal infrastruktur dan penguatan pariwisata. Kita berharap banyak untuk merealisasikan janji-janji kampanye tersebut dan memberi kejutan positif pada 100 hari pertama.

Salah satu contohnya pemerintah daerah harus hadir ketika sebuah proyek investasi pariwisata mengancam bentang alam. Sinkronisasi perizinan sebisa mungkin dikaitkan dengan kearifan lokall Bali.  Kita kaya dengan nilai-nilai lokal seperti “tenget’ yang sesungguhnya bahasa simbolik, religius-spritual dari esensi pariwisata berkelanjutan, pariwisata budaya dan keasrian alam Bali.

Aktivitas mengatasi masalah kemacetan, banjir, sampah dan air bersih harus dimulai begitu dilantik. Akan lebih baik ada peta jalan sebagai panduan mewujudkan visi misi di bidang pariwisata. Bukan pekerjaan mudah tetapi juga bukan sesuatu yang mustahil untuk dilaksanakan. Dengan transparansi dan akuntabilitas, proses ini akan diapresiasi para tamu maupun calon tamu. “Upaya” adalah sebuah kata yang berharga bagi promosi Bali.

Guru Besar dan Koprodi Doktor Ilmu Akuntansi FEB Unud

BAGIKAN