I Gusti Ketut Widana. (BP/Istimewa)

Oleh I Gusti Ketut Widana

“Alam Bali Dibiarkan Semakin Rusak”, “Krisis Air Bersih Tak Kunjung Teratasi”, dua berita  Bali Post, Senin (23/12), seperti menohok Bali yang alamnya dikenal indah mempesona. Aneh bin soleh jika Bali dengan bentangan alam suburnya dikatakan mengalami krisis air. Ada gunung dengan tutupan hutan

menjadi penyerap dan penyimpan air, lalu merembes dan menggenangi beberapa danau, dari sini kemudian mengalir melalui ratusan sungai melintasi dan mengairi hamparan sawah dalam pengelolaan subak sebagai pengorganisir saluran irigasi tradisional. Logikanya, Bali dengan curah hujan relatif basah pada musimnya tidak akan kekurangan air, apalagi dikatakan krisis. Kalau sekarang terjadi krisis, berarti alam Bali memang sudah  mengalami kondisi kritis, menunggu habis dan kita pun akan menangis, lantaran sumber mata air berubah menjadi genangan air mata.

Penyebab utamanya, bukan karena alam  melainkan dari tingkah dan ulah manusia yang bisanya hanya mengambil manfaat tanpa disertai tindakan merawat, bahkan boleh dikatakan berkhianat pada amanat untuk memelihara dan menjaga sumber daya alam dengan segala potensinya. Terlebih, dari sisi konsep yang bersumber dari teks kepustakaan, Bali sangat kaya nilai-nilai yang mengajarkan pentingnya manusia mencintai dan melestarikan alam dengan segenap sumber daya hayatinya. Hanya saja, harus diakui masih terbatas pada cara dan atau tindakan ritual simbolik. Contoh, ada ritual Tumpek Bubuh dan Tumpek Kandang, momen umat menghargai/menghormati alam, tumbuhan/pepohonan, dan makhluk hewan. Belum lagi ritual Nyepi dengan catur brata yang mengondisikan jagat dalam keadaan sepi tanpa aktivitas, memberi kesempatan alam me-refresh diri, meski hanya dalam hitungan 24 jam.

Baca juga:  Maknai Kuningan, Jangan Takut Berinovasi

Lebih hebat lagi, krama Bali juga punya konsep ideal Tri Hita Karana, menuntun umat untuk tidak saja menguatkan hubungan religius kepada Tuhan (vertikal/niskala), menjalin hubungan sinergis antarsesama, lebih penting lagi merealisasikan hubungan harmonis dengan alam/lingkungan, sebagai jalan mencapai kehidupan sejahtera dan bahagia. Cuma, sangat disayangkan dalam praktiknya justru seringkali berubah menjadi Tri Kite Karana, nganggoang kite (semaunya) memperlakukan alam tanpa niat dan semangat merawat alam. Semisal, menebang pohon tanpa perhitungan, merusak hutan tanpa kendali (deforestasi), membuang sampah sembarangan, ditambah lagi tren menjual lahan (sawah/tegal) kian marak demi menyambung napas kehidupan.

Baca juga:  Strategi Meningkatkan Budaya Literasi di Sekolah

Jika sudah sedemikian rupa mindset dan perilaku krama Bali terhadap alam, tidak heran jika kemudian Bali mengalami krisis sumber daya alam yang antara lain berimbas pada keterbatasan ketersediaan pasokan air. Celakanya, semakin tahun, kerusakan alam lingkungan Bali semakin menjadi-jadi. Bencana hidrometerologi, mulai dari banjir, pohon tumbang dan tanah longsor, makin sering terjadi.

Ironisnya, meskipun tiap tahun masalah ini diungkap, tidak ada yang peduli untuk mengurangi kerusakan. Padahal, masalahnya sudah jelas, yakni tidak terkendalinya perkembangan ekonomi pariwisata Bali. Sebuah ironi bagi Bali sebagai surganya pariwisata, salah satunya krisis air bersih yang tidak kunjung teratasi. Sementara hotel dan vila menikmati keberlimpahan air, sebagian besar masyarakat di beberapa wilayah di Bali justru kesulitan mendapatkan air bersih (BP, Senin, 23/12).

Baca juga:  Krisis Air Bersih

Bentang alam Bali yang relatif kecil, sebenarnya bukan merupakan daerah  prospektif untuk pembangunan infrastruktur skala makro seperti halnya pengembangan sektor industri pariwisata kelas global yang diketahui sangat boros segalanya. Pastinya akan selalu memunculkan perang abadi antara pembangunan ekonomi versus pelestarian ekologi.

Faktanya, yang sering terkalahkan, tepatnya dikorbankan adalah sumber daya ekologi. Dibuktikan dengan semakin terstruktur, sistemik dan masifnya eksplorasi dan eksploitasi SDA demi keuntungan ekonomi, yang realitanya tidak selalu berkorelasi positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat (kecil). Lebih miris lagi, krama Bali yang merasakan manis madu industri pariwisata terbilang minor, yang untung besar justru kalangan pemilik modal yang rata-rata  berasal dari luar Bali, termmasuk WNA.

Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *