JAKARTA, BALIPOST.com – Dewan Pers meluruskan berita hoaks yang menuding keinginan lembaga negara tersebut mengubah tanggal Hari Pers Nasional (HPN) yang selama ini diperingati tiap 9 Februari. Menurut Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo, banyak pihak termakan berita-berita hoaks terkait usulan perubahan HPN tersebut.
“Jadi, ini berita sudah liar karena memanfaatkan protes yang ada. Kami tidak ingin menambah kegaduhan. Dewan Pers belum mengubah dan belum membahas (perubahan HPN) di pleno,” kata Stanley di Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta, Jumat (20/4).
Sebenarnya, Dewan Pers dalam pesoalan ini hanya memfasilitasi rapat pembahasan awal usulan perubahan tanggal HPN, pada Rabu (18/4/2018) di Gedung Dewan Pers. Usulan tersebut datang dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) yang mengajukan usulan perubahan tanggal HPN.
Pada pertemuan usulan awal itu, dihadiri anggota dan mantan anggota Dewan Pers serta konstituen Dewan Pers. Antara lain, wakil dari AJI, IJTI, PWI, Serikat Penerbit Pers (SPS), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), dan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI). Dalam pertemuan itu wakil dari AJI dan IJTI menyampaikan dasar pemikiran munculnya usulan revisi tanggal pelaksanaan HPN dan dituliskan secara lengkap dalam bentuk kajian sejarah.
Usulan yang diajukan dua lembaga komunitas pers tersebut semata menangkap aspirasi sejumlah anggotanya yang mempertanyakan tanggal HPN, diambil berdasarkan hari lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang jatuh pada 9 Februari. Sebab dengan mengambil momentum hari lahirnya PWI, menimbulkan kesan bahwa peringatan HPN hanya untuk satu organisasi wartawan saja, bukan hari lahir yang patut diperingati oleh komuitas pers Indonesia.
Dengan demikian, AJI dan IJTI berpandangan tanpa ada perubahan signifikan yang salah satunya berupa tanggal, akan sulit mengubah kultur pelaksanaan HPN secara signifikan. Namun, di luar dugaan rapat awal usulan yang difasilitasi Dewan Pers ini mengundang perdebatan dan reaksi pengurus PWI di daerah.
Bentuk sikap PWI di daerah itu antara lain: mempertanyakan sikap Dewan Pers yang berencana merevisi HPN; mendesak agar PWI mensomasi Dewan Pers dan mengganti ketuanya karena memfasilitasi pertemuan itu; mendesak PWI pusat menarik wakilnya dari Dewan Pers; dan menyatakan HPN tanggal 9 Februari adalah harga mati.
Setelah ditelusuri Dewan Pers, menurut Stanley ternyata perdebatan yang mengundang reaksi sejumlah pengurus PWI di daerah disebabkan oleh berita hoaks salah satu portal berita yang menginformasikan bahwa Dewan Pers telah mengusulkan kepada pemerintah untuk mengubah tanggal HPN yang biasa diperingati tiap 9 Februari. “Berita (itu) ditulis secara sepihak tanpa uji informasi bahkan konfirmasi ke Dewan Pers. Usulan (perubahan HPN) bukan dari Dewan Pers, namun dari konstituen. Usulan sebatas hasil kajian atau wacana dan pada saat diberitakan belum dibahas di Dewan Pers, apalagi diputuskan,” terang Stanley.
Iapun berupaya mendudukan persoalan ini. Yaitu hanya sebatas mendengar masukan AJI dan IJTI, belum membahasnya. “Dewan Pers tidak pernah menyampaikan atau memutuskan perubahan tanggal HPN. Namun, tanggapan organisasi didasarkan pada asumsi sepihak versi organisasi terkait,” imbuhnya.
Dalam siaran pers bersama, Ketua Umum AJI, Abdul Manan dan Ketua Umum IJTI, Yadi Hendriana mengakui apa yang dilakukan Dewan Pers sudah benar dengan memfasilitasi keinginan lembaganya. Sebelum usulan diajukan kepada Dewan Pers, pihaknya juga telah memertimbangkan secara matang tentang langkah-langkah yang bisa membuat kegaduhan di masyarakat terutama komunitas pers.
Oleh karena itu, AJI dan IJTI memilih meminta Dewan Pers untuk memfasilitasi untuk menyelesaikannya secara internal. Mereka tidak membawa persoalan ini ke ranah hukum dengan menggugat dasar hukum penetapan HPN yaitu Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985, yang dasar hukumnya memakai Undang Undang No 21 tahun 1982. Undang-undang No 21 tahun 1982 ini sudah tidak berlaku lagi setelah lahirnya Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
“AJI dan IJTI memakai cara yang prosedural untuk menyelesaikan masalah ini dan belum memakai cara legal, yaitu mencari penyelesaian kasus ini dengan mempersoalkan dasar hukum HPN ke Mahkamah Agung. Cara itu tak kami tempuh karena kami menganggap bahwa kita memiliki Dewan Pers,” dalam siaran pers bersama tersebut. (Hardianto/balipost)