Oleh Ni Made Ratminingsih
Korupsi seolah telah menjadi fenomena umum yang tidak pernah selesai dibicarakan di negeri ini. Setiap saat ada pergantian pemimpin, para calon pemimpin yang akan dipilih rakyat melalui Pemilu selalu mengumandangkan niat dan rencana untuk memberantas korupsi dari muka bumi. Mengapa harus diberantas? Karena korupsi ini adalah momok bagi sebuah bangsa. Tidak ada satu bangsa pun yang akan bisa maju bila korupsi tidak diberantas dengan serius.
Ironisnya, manakala perang terhadap korupsi sudah sering “dilantunkan” dan beberapa pemimpin telah berganti, namun mega korupsi di negeri ini tampak belum berhasil dituntaskan. Isu terbaru dan terpanas dengan korupsi 300 triliunan oleh seorang konglomerat juga berakhir dengan hukuman ringan, 6,5 tahun penjara. Yang mungkin saja nantinya akan mendapatkan keringanan-keringanan (remisi) per tahunnya.
Terlebih lagi, uang ganti rugi yang ditetapkan adalah 200-an miliar saja. Bagaimana dengan uang yang jumlahnya triliunan itu? Bukankah uang yang jauh lebih banyak itu merupakan hasil mengkorupsi uang rakyat? Lalu dibawa kemana sisanya yang jauh lebih besar? Mungkin pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi pertanyaan di benak publik.
Korupsi itu bukan hanya tentang pelanggaran hukum, tetapi kejahatan kemanusiaan, karena koruptor telah merampas kesejahteraan rakyat. Uang yang telah dirampas tersebut dengan cara-cara yang tidak benar, mestinya bisa digunakan untuk kepentingan pembangunan dan kemajuan bangsa dalam berbagai sektor, seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, dan pengadaan infrastruktur. Namun, koruptor dengan tega telah membuat sebuah bangsa sengsara, uang yang dikorupsi itu mestinya digunakan untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa, tetapi akhirnya hanya dinikmati oleh para koruptor yang rakus yang hanya untuk kepentingan diri dan kelompoknya saja.
Hukum tampak masih belum bekerja tajam untuk menjatuhkan hukuman yang keras bagi para koruptor di negeri ini. Sering terjadi hukum justru tumpul ke atas, tetapi tajam ke bawah. Tentu ada berbagai alasan yang ada di balik semua kasus besar.
Di dalamnya sudah pasti ada berbagai kepentingan dan pihak-pihak terlibat. Orang awam dan tidak melek hukum pun rasanya bisa membayangkan apakah mungkin sebuah mega korupsi hanya melibatkan satu orang saja. Bila pihak yang terlibat adalah orang besar dan punya pengaruh, maka bisa dipastikan hukum susah untuk berlaku adil.
Bila hal ini terus terjadi, masyarakat tidak akan percaya lagi pada hukum dan penegak hukum. Dapat diibaratkan negara dan bangsa ini tidak punya kompas, terombang-ambing oleh arah angin hukum yang tidak ditegakkan dengan sewajar-wajarnya dan sebenar-benarnya.
Hukuman yang ringan bagi para koruptor bukan hanya merusak kepercayaan masyarakat, tetapi juga dapat mempengaruhi persepsi publik. Bila koruptor diperlakukan dengan lunak, masyarakat bisa memiliki mispersepsi seolah korupsi itu kasus yang tidak serius, padahal korupsi tersebut, apalagi mega korupsi yang berjumlah triliunan itu dapat menghancurkan banyak kehidupan dan sebuah bangsa.
Masyarakat juga bisa berpersepsi negatif bahwa praktek korupsi dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, padahal korupsi itu merupakan kejahatan yang harus dicegah dan ditindak dengan tegas dan keras. Belajar dari bangsa Cina, di sana diberlakukan hukuman berat bahkan mati untuk kasus-kasus korupsi, apalagi kalau sudah tergolong mega korupsi.
Sebagai contoh, kasus tergres yang menyeret mantan seorang pejabat di negara tersebut terbukti korupsi sebanyak 3 miliar Yuan (sekitar Rp6,7 triliun), pejabat tersebut dieksekusi mati. Upaya Cina memberantas korupsi tidak tanggung-tanggung. Penegakan hukum seperti ini tampaknya menjadi salah satu faktor yang menyebabkan negara Cina menjadi salah satu negara yang kuat dan maju.
Selain hukuman mati, pemiskinan bagi koruptor menjadi alternatif lain yang bisa diberlakukan. Semua uang yang telah dikorupsi itu mestinya dikembalikan kepada negara. Bukan berarti setelah dikembalikan, lantas koruptor dimaafkan. Hukuman berat juga tetap diberlakukan, supaya menimbulkan efek jera dan pembelajaran serta pencegahan untuk korupsi lain terjadi.
Hal-hal lain yang dapat diupayakan adalah adanya pendidikan anti korupsi bagi para generasi muda, ini perlu dijadikan mata pelajaran di tingkat SMP, SMA, dan juga mata kuliah di perguruan tinggi. Perlu adanya kampanye anti korupsi secara masif dan regular. Yang terpenting, perlu adanya revisi undang-undang yang lebih memberatkan koruptor dengan berbagai level jumlah uang yang dikorupsi. Jadi, bila negeri ini ingin maju, maka tindakan korupsi tidak ditoleransi, namun ditindak tegas dan keras.
Penulis, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha.