I Made Sulasa Jaya, pengamat pariwisata saat wawancara Bali Post Talk, Selasa (7/1). (BP/May)

DENPASAR, BALIPOST.com – Hingga berakhirnya 2024, pariwisata Bali belum juga ada solusi. Ada kesan, pariwisata berkembang tanpa arah dengan makin ditinggalkannya nilai-nilai Tri Hita Karana (THK). Demikian diungkapkan Pengamat pariwisata I Made Sulasa Jaya, Selasa (7/1).

“Sampai sekarang, 2024 berakhir, belum ada tanda-tanda pergerakan menuju ke arah lebih baik. Kita bisa lihat dari hasil dan pergerakan yang dilakukan, ini belum muncul 2025,” ungkapnya.

Kompleksitas masalah pariwisatata luar biasa. Menurutnya, inti masalah pariwisata adalah moralitas dalam menyelesaikan masalah pariwisata ini. Ada tiga elemen mengukur tingkat moralitas yaitu pelaksana atau SDM, fisik (infrastruktur), dan aturannya.

“Kalau moralnya tidak bagus, apapun yang dikerjakan menjadi tidak bagus. Kalau yang lainnya tergantung manusianya, misalnya masalah alih fungsi lahan. Acuan moral yang berlaku di Bali yaitu Tri Hita Karana, Tri Mandal, Tri Angga. Jangan mengacu ke negara lain soal moalitas, mungkin di negara mereka bebas, free sex, tapi negara kita tidak demkiian, acuan di Bali adalah THK,” tandasnya.

Baca juga:  Pasien Sembuh Baru Lampaui Kasus Harian, Korban Jiwa Masih Bertambah

Menurutnya dari moral yang tumbuh dalam setiap perilaku pariwisata, pemerintah dan masyarakat secara umum, akan lahir tanggung jawab dan empati untuk memperbaikinya. “Nilai THK sudah jauh ditinggalkan saat ini, THK hanya slogan,” ujarnya.

Orientasi pelaku pariwisata saat ini menurtnya hanya mengejat keuntungan jangka pendek tanpa memperhatikan keberlanjutannya. Jika sejak awal membangun branding nilai, pariwisata Bali bisa berumur panjang. Membangun branding nilai THK atau nilai-nilai kehidupan yang bermakna, diantaranya dengan mendidik dan memberdayakan masyarakat.

Baca juga:  Pegolf Junior Bali Juara di Jakarta

Sehingga masyarakat memahami dan menyadari, kemudian mau melaksanakan maka pariwisata Bali akan berjalan lebih baik. “Yang terjadi sekarang, kita hanya membangun pemasaran dengan pencitraan yang sifatnya jangka pendek untuk meraih keuntungan jangka pendek,” ungkapnya.

Indikator fenomena itu dapat dilihat dari return of investmen (balik modal) pengusahan pariwisata lebih panjang dibandingkan dulu karena suku bunga yamg semakin tinggi, harga produk pariwisata yang murah, persaingan usaha ketat. “Dulu 8 sampai.9 tahun sudah balik modal, sekarang lebih dari 10 tahun,” ujarnya.

Maka nilai-nilai budaya yang mendasari pariwisata Bali yaitu THK harus diimplementasikan oleh orang-orang yang berdedikasi tinggi, concern terhadap perbaikan pariwisata Bali dan cinta terhadap Bali. “Agar relevan dengan tujuan pariwisata, maka nilai THK harus direvitalisasi. Padahal di UU Provinsi Bali sudah muncul nomenklatur THK,” imbuhnya.

Baca juga:  Antisipasi Masuknya COVID-19, KKP Soetta Perketat Pengawasan

Meski saat ini perkembangan pariwisata sangat masif dan tida terkontrol, namun ia melihat masih bisa diperbaiki, terutama menyangkut nilai-nilai non fisik. “Walaupun secara fisik tidak bisa, tapi mari merenung, dari sana akan timbul ide, lalu mengidentifikasi masalah, dan skoring masalah tertinggi, strategi implementasinya seperti apa. Banyak yang bisa digali dari kearifan lokal Bali yang bisa digunakan untuk memperbaikinya,” imbuhnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN