DENPASAR, BALIPOST.com – Listrik di Bali saat ini memang dalam keadaan over suplai. Namun ke depan, kebutuhan listrik pasti akan terus meningkat. Terutama untuk menyokong pertumbuhan pariwisata.

Akan tetapi, hal ini tidak lantas menjadi alasan yang bisa diterima untuk membangun pembangkit tahap kedua di PLTU Celukan Bawang. “Sebenarnya Celukan Bawang yang pertama sudah ada di RUKD (Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah ) 2004. Memang harus ada disana pembangkit satu, karena secara sistem, Bali harus ditopang oleh beberapa pembangkit. Tapi tidak untuk menambah lagi (pembangkit tahap kedua, red),” ujar Pengamat Kelistrikan, Prof. Ida Ayu Dwi Giriantari disela-sela diskusi publik masalah kelistrikan di Bali, di Kantor DPD Provinsi Bali, Jumat (20/4).

Menurut Giriantari, tidak ada alasan untuk menerima pembangunan pembangkit tahap kedua itu. Terlebih sekarang, operasional pembangkit berbahan bakar batubara itu diprotes berat oleh dunia internasional.

Baca juga:  Polisi Promosikan Bali Aman Dikunjungi

Emisi yang dibuang per harinya akan memunculkan resiko 10 tahun lagi. Dalam hal ini, generasi mendatang yang akan menerima dampak buruk pencemaran lingkungan.

“Itu buah simalakama jadinya untuk Bali. Kita menyediakan listrik dengan cara seperti itu, sebenarnya untuk bisa menyediakan listrik bagi pariwisata. Tapi akhirnya pariwisata akan mati. Siapa sih yang mau datang ke pulau kecil dengan pencemaran,” jelas Dosen Teknik Elektro Universitas Udayana ini.

Giriantari menambahkan, Bali bahkan Indonesia saat ini belum bisa mengandalkan listrik sepenuhnya dari energi baru terbarukan (EBT). Berbeda dengan negara-negara di Eropa yang bahkan siap membayar mahal untuk listrik dari EBT demi lingkungan.

Baca juga:  Buronan Interpol Kasus Narkoba Ditangkap di Bandara

Mengingat, Eropa bisa dikatakan sudah mapan dari segi kelistrikannya sehingga aman dari segi suplai. Warga disana beralih ke EBT hanya karena mereka menghargai lingkungan.

“Di Indonesia (EBT) tidak bisa menjadi suplai utama. Secara teknologi memang masih susah kalau kita mengandalkan sepenuhnya dari energi terbarukan. Itu akan sangat high cost,” terangnya.

Oleh karena itu, lanjut Giriantari, solusi yang memungkinkan untuk suplai listrik Bali kedepan adalah Jawa-Bali Crossing (JBC). Kalau proyek ini jadi, maka akan ada 1000 MW listrik yang masuk ke Bali dari Jawa. “Itu sama dengan membangun lagi 4 (pembangkit) yang sama dengan yang di Celukan Bawang. Mau ditaruh dimana? Di pojok-pojok Bali, kan kasihan Pulau Bali kita,” tandasnya.

Baca juga:  Segini, Anggaran Dikeluarkan Pemkot Denpasar untuk Tes COVID-19

Ketua Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan, pembangunan PLTU di Bali tidak sejalan dengan konsep Bali Clean and Green. Termasuk akan menjadi kampanye negatif untuk sektor pariwisata.

GM PLN Distribusi Bali, Nyoman Suwarjoni Astawa mengatakan, beban puncak tertinggi yang pernah dicapai Bali adalah 862 MW. Sementara pasokan listrik saat ini 1200 MW. Bicara potensi pembangkit EBT, paling tinggi hanya menghasilkan listrik 300 MW dari 3 PLTS.

Jadi, masing-masing PLTS di Negara, Amlapura, dan Kubu menghasilkan 100 MW saja. Untuk pembangkit EBT yang lain, seperti PLTM rata-rata listrik yang dihasilkan tidak lebih dari 10 MW, PLTB di Nusa Penida hanya menghasilkan 20 MW, dan PLTP Bedugul 65 MW. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

2 KOMENTAR

  1. Bpk/Ibu 2 yg berwenang menyiapkan listrik untuk pariwisata, tolong jangan meracuni umat2, pariwisata dll bali… Biar biaya mahal sebanding dg sangat terkenal dan dikaguminya pariwisata bali oleh dunia… Uang/mahal biaya listrik demi generasi berikutnya tidak begitu memberatkan apalagi hotel2/apartemen yg menikmati

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *