Pantai di Buleleng. (BP/dok)

SINGARAJA, BALIPOST.com – Kerusakan akibat abrasi pantai di Buleleng hingga sekarang belum juga brhasil tuntas ditangani. Terbukti, dari panjang pantai di daerah ini 172,301 kilo meter (KM) masih ada sekitar 29,33 KM garis pantai di daerah ini yang masih tergerus abrasi.

Kendala penanganan abrasi karena anggaran yang tidak memadai dan diperparah karena pemerintah daerah tidak menganggarkan penanganan abrasi di daerahnya. Disebabkan, kewenangan pengelolaan kawasan pantai kepada provinsi.

Catatan tahun 2015, panjang garis pantai di Buleleng mencapai 172,301 KM dari Kecamatan Tejakula smapai di Kecamatan Gerokgak. Dari panjang pantai itu, BWS menemukan sepanjang 69,96 KM pantai di Bali Utara dilanda abrasi. Kerusakan pantai ini menyebar dengan tingkat kerusakan yang bervariasi dari ringan, sedang, dan abrasi parah.

Tidak saja menggerus tanah milik warga, tetapi abrasi pantai sendiri juga merusak lingkungan pura segara dan tempat waga melaksanakan ritual melasti. Tidak itu saja, kerusakan bibir pantai juga merusak kawasan wisata seperti di Buleleng. Seperti yang terjadi di kolam pemandian Air Sanih, Desa Bukti, Kecamatan Kubutambahan.

Baca juga:  Semakin Tergerus dan Rawan Roboh, Pos Balawista Kuta Dikosongkan Sementara

Dari total panjang pantai yang mengalami abrasi itu, BWS telah melakukan penanganan dan data terakhir menyebutkan penanganan abrasi pantai Buleleng sepanjang 40.63 KM. Dengan hasil itu, sehingga BWS masih memiliki “tunggakan” penanganan abrasi sepenjang 29,33 KM.

Kepala Satuan Kerja (Kasatker) BWS Bali-Penida Putu Edy ketika dihubungi Minggu (22/4) mengatakan, penanganan abrasi pantai tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada BWS saja. Kendati pemerintah daerah tidak lagi memiliki kewenangan mengelola kawasan pantai di daerahnya, tetapi dukungan termasuk stake holders terkait lain diharapkan dalam menuntaskan masalah abrasi pantai.

Untuk itu, BWS melalui tim Koordinasi Menejemen Pengelolaan Pantai sekarang masih membahas terkait dukungan pemerintah, swasta, dan kelompok masyarakat berpartisipasi sesuai kemampuan untuk menangani persoalan abrasi pantai di daerahnya.

Baca juga:  Rob Terjang Pesisir Jembrana

“Masalah kewenangan ini sedang dikaji oleh tim di BWS dan pada intinya penanganan abrasi perlu dukungan pemerintah, swasta, dan masyarakat di daerah. Kalau semuanya diserahkan ke BWS, sudah pasti tidak bisa menjawab semua kerusakan pantai yang terjadi di daerah ini,” katanya.

Terkait pemicu abrasi pantai, pria asal Buleleng ini mengatakan, secara teknis abrasi terjadi karena berkurangnya volume pasir di bibir pantai. Pengurangan ini baik karena terbawa gelombang, atau pengurangan karena faktor lain.

Volume pasir ini sebanarnya dapat terjaga kalau, Daerah Aliran Sungai (DAS) dari daerah hulu mengalirkan sedimentasi yang bermuara di pantai dalam volume besar. Tetapi dari pengamatannya, pasokan sidementasi dari DAS dan berkuranggnya volume pasir di pantai tidak sama, sehingga gelombang laut akan mudah untuk menggerus tanah di daratan. “Kalau pengamatan dan kajian teknis yang kita lakukan pemicu karena pasir di daratan itu semakin berkurang, sehingga gelumbang menggerus tanah di daratan. Kalau saja pasoan sedimentasi dari DAS yang bermuara di pantai maksimal, volume pasir pantai terjaga, sehingga abrasi pun berkurang,” jelasnya.

Baca juga:  Tantangan Privatisasi Pantai Bali

Sementara itu Kepala Dinas PUPR Buleleng Ketut Suparta Wijaya mengatakan, walaupun pantai di wilayahnya masih ada yang terabrasi, namun,  PUPR tidak bisa bebruat banyak untuk menganggulangi kerusakan pantai tersebut. Ini karena pengeloaan kawasan pantai telah dialihkan kepada provinsi. Kalau mengalokasikan anggaran untuk penanganan abrasi, pihaknya hawatir akan programnya melanggar regulasi.

“Tidak ada kewenangan, kalau dianggarkan nanti kami yang dipermasalahkan. Kita menunggu saja kebijakan dan program penanganan oleh pihak yang diberi kewenangan mengelola pesisir,” tegasnya. (mudiarta/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *