DENPASAR, BALIPOST.com – Rencana pemerintah menahan Devisa Hasil Ekspor (DHE) lebih pajang dari sebelumnya yaitu 1 tahun, dikhawatirkan mengganggu arus usaha.
Pekaku usaha Panudiana Kuhn, Jumat (10/1) mengatakan, meski peraturan ini untuk produk sumber daya alam (SDA), namun juga harus dipilah antara pelaku usaha kecil, dan besar, karena menurutnya ekspotir kecil akan kesulitan mengatur arus usahanya.
“Harus dipilah, kalau eksportirnya orang lokal, Indonesia, kantor di Indonesia, jelas devisa di Indonesia, tapi kalau eksportinya PMA, bule yang kantornya di luar negeri, maka kontrolnya menjadi susah karena uangnya dimana-mana, belum tentu dikirim ke Indonesia,” bebernya.
Apalagi misalnya jika pelaku usaha tersebut memiliki pabrik kelapa sawit, tambang batu bara, nikel, maka untuk mengontrolnya aka sulit. “Uang itu mau diapain oleh negara, devisa itu kan lewat bank pelaksana ekspor, masuk ke rekening perusahaan ekspotir, maka akan sulit mengontrol. Makanya jangan bikin aturan membingungkan masyarakat,” ujarnya.
Menurutnya, eksportir kecil akan memutar hasil ekspornyan untuk membayar utang, menggaji , membeli bahan baku, dll. “Siapa yang bisa ngontrol uang dari luar negeri?” tandasnya.
Kebijaka ini menurutnya muncul karena ada ekspor fiktif yang ia kutip dari pernyataan alm. Faisal Basri karena adanya ekspor nikel Rp480 T, yang seharusnya membuat Indonesia untung banyak, tapi ternyata ekspor nikel tahun itu dilarang.
Selain itu, menurutnya ide tersebut baik, karena pemerintah membutuhkan devisa namun jika DHE yang ditahan berskala besar seperti tambang, sawit karena hasilnya triliunan. “Ditahan setahun lumayan, bisa kasi makan siang gratis. Kalau di Bali eksportir kecil – kecil dan sedikit yang bergerak di SDA seperti eksporti handicraft, garmen, tekstil, tuna,”imbuhnya. (Citta Maya/Balipost)