Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Ketika di waktu lalu kehidupan krama Bali berbasis sosialistis-agraris-religis dan berasas hidup kolegial (kebersamaan) serta komunal (pengelompokan masyarakat) atas dasar genealogis (pasemetonan), termasuk “mabebanjaran”, semua kegiatan adat-keagamaan (panca yadnya) diselesaikan bersama dan dilaksanakan di lingkungan sendiri. Misalnya, pelaksanaan upacara Dewa Yadnya di Pura, Manusa Yadnya di rumah, dan Pitra Yadnya (Ngaben) di setra adat setempat.

Tidak ada yang namanya Ngaben keluar wilayah (wewidangan) banjar/desa adat. Namun, sejak kehadiran  krematorium (2009) dan saat ini hampir di setiap kabupten/kota di Bali  berdiri  tempat kremasi, krama Bali mempunyai opsi sekaligus solusi terkait tempat Ngaben yang bisa dimanfaatkan oleh siapapun dan dari manapun asalnya.

Krematorium adalah sebuah tempat untuk melakukan pembakaran jenazah hingga menjadi abu. Berlangsungnya proses pembakaran mayat itu disebut “kremasi”, yang juga bisa dan biasa diikuti umat non Hindu. Jika disertai tata cara upacara Pitra Yadnya, maka disebut Ngaben Kremasi. Media pokoknya adalah energi panas (teja) yang dihasilkan dari api (kompor minyak/gas) atau energi listrik (strum). Keberadaan krematorium ini umumnya dimanage yayasan tanpa terkoneksi dengan desa adat. Baru belakangan, beberapa desa adat mulai membangun krematorium di setra dan langsung dikelola sendiri, tanpa mengesampingkan keinginan krama  melaksanakan Ngaben mandiri ala tradisi setempat.

Baca juga:  Desa Adat Denpasar Bangun Tempat Pengabenan

 

Kian maraknya kehadiran krematorium di Bali, setidaknya disebabkan dua faktor. Pertama fakktor internal meliputi: 1) mobilitas krama Bali tidak lagi statis seperti di era agraris, tetapi sudah bergerak melintasi batas desa, pulau, negara bahkan benua, baik karena urusan pendidikan maupun pekerjaan (karier); 2) diversifikasi profesi, tidak lagi sebagai petani, pekebun, peternak, tetapi beraneka rupa pekerjaan digeluti sebagai sumber nafkah kehidupan; 3) hijrah dari desa ke kota  seiring pendidikan dan pekerjaan yang ditekuni; 4) totalitas kehidupan di kota menjadikan  waktu untuk kembali ke desa (kampung) sangat terbatas ; 5) mulai renggang dan kemudian terlepasnya ikatan-ikatan primordial, seperti mabanjar/medesa adat, yang kalaupun tetap dikuti (diikat) awig-awig adakalanya bisa dikonversi dengan cara “meli ayahan” (dibayar dengan uang).

Baca juga:  Prof. Widnya Dikremasi di Pundukdawa, Ini Kenangan Sang Anak

Kedua, faktor eksternal, di antaranya: 1) masih adanya banjar/desa adat dengan awig-awig atau pararem-nya yang dianggap memberatkan krama, seperti mewajibkan kehadirin fisik jika ada kegiatan tertentu (ngayah), yang jika tidak dipatuhi terancam sanksi adat; 2) relatif mahalnya biaya pangabenan mandiri, terlebih bagi banjar/desa adat yang masih memberlakukan kewajiban “ngayahin” krama dalam bentuk jamuan (makan-minum, dll); 3) adanya larangan Ngaben saat di desa berlangsung upacara yadnya tertentu; 4) krama bersangkutan sedang bermasalah bahkan terkena sanksi adat; 5) tidak ingin merepotkan krama termasuk semeton yang rata-rata disibukkan dengan urusan masing-masing; 6) ngaben kremasi dianggap  lebih efektif (praktis) dan efisein (ekonomis).

Menengahi kedua faktor di atas, kehadiran krematorium dapat dikatakan sebagai win win solution, tidak tepat dianggap mendegradasi ikatan sosial “mabebanjaran/madesa adat”. Realitanya, kewajiban adat dan menjalankan ajaran yadnya (pitra yadnya) tetap terlaksana. Sementara itu aktivitas pendidikan, terutama pekerjaan di perantauan juga lancar tanpa dihantui risiko dipecat atasan, gara-gara urusan adat.

Baca juga:  Meninggal Dunia, Pasien COVID-19 Asal Cempaga Dikremasi

Selain itu, kehadiran krematorium, terkhusus yang dikelola desa adat, secara ekonomis sangat menjanjikan/menguntungkan. Sebab akan terjadi sirkulasi perekonomian desa yang turut dinikmati krama. Caranya, melibatkan krama mengerjakan kebutuhan sarana (upakara), prasarana (uparengga), dan layanan jasa lainnya yang diperlukan dalam penyelenggaraan ngaben kremasi.

Prinsipnya, dan ini sangat urgen, dalam proses ngaben kremasi, secara tattwa (teologis) dapat dibenarkan karena bertujuan mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta kembali ke “api” (Brahma) sebagai Sang Pencipta. Secara filosofis merupakan kewajiban membayar utang (Pitra Rna). Secara psikologis, krama merasa bahagia dan puas telah berhasil mengantarkan sang mati/roh (palatra) kembali ke asal. Secara sosiologis, tetap terjalinnya ikatan sosial (pasemetonan, mabebanjaran/madesa adat). Tak kalah penting secara ekonomis, terjadi perputaran uang yang jika dikelola dengan baik, benar dan bijak akan mampu mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat adat setempat.

Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *