Pedagang sedang melayani pembeli di Pasar Badung, Denpasar. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Konsumsi masyarakat Bali mulai melambat, sementara investasi di Bali berjalan tak terarah. Dampaknya, krama Bali semakin susah. Apalagi pertumbuhan ekonomi Bali ternyata tak dinikmati oleh penduduk lokal.

Deputi Kepala BI KPw BI Bali, G.A. Diah Utari mengatakan, untuk menjaga agar ekonomi kuat, maka yang perlu dijaga adalah konsumsi rumah tangga dan investasi yang berkelanjutan. Konsumsi rumah tangga memang tumbuh cukup tinggi, namun mulai stagnan karena Bali kembali ke era sebelum pandemi. “Kami melihat masyarakat masih bersikap hemat karena kondisi perekonomian tidak stabil,” ujarnya.

Hal ini terlihat dari data Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan meningkat mengindikasikan masyarakat menahan konsumsinya. Pada triwulan III 2024, tabungan perorangan meningkat dibandingkan triwulan 3 2023 bahkan lebih tinggi dari tahun tahun sebelumnya. Begitu juga dengan deposito mengalami peningkatan dibandingkan 2022 dan 2023.

Diah Utari mengatakan, hasil survei konsumen mengindikasikan perlambatan meskipun keyakinan masyarakat tetap tinggi, konsumsi listrik rumah tangga melambat. “Tantangan ke depan adalah menjaga konsumsi masyarakat tetap tumbuh dan terjaga di tengah inflasi pangan yang memang menjadi sumber inflasi dan karena adanya beberapa kebijakan juga yang mempengaruhi konsumsi masyarakat,” ujarnya.

Meskipun kenaikan PPN 12 persen hanya berlaku bagi barang mewah, namun juga berdampak pada daya beli dan pola konsumsi masyarakat. “Jadi sebagian besar mengatakan bahwa daya beli berubah sekitar 57 persen, pola konsumsi masyarakat juga sebagian besar mengurangi atau mencari substitusi,” ujarnya.

Baca juga:  Tingkatkan Kinerja Pegawai, Tahun Depan Bangli akan Berlakukan Turkin

Tantangan konsumsi ke depan adalah menjaga agar inflasi stabil, di sisi lain juga berupaya agar walaupun ada kebijakan kenaikan PPN, masyarakat tetap berkonsumsi dengan wajar. “Intinya penguatan konsumsi RT ada dua poin, inflasi terkendali, penguatan sektor padat karya dengan melibatkan sektor usaha kecil pada program pemerintah seperti program makan bergizi gratis (MBG). Program MBG dapat meningkatkan daya beli masysrakat dan meningkatkan perekonomian jika melibatkan UMKM,” ungkapnya.

Untuk menjaga agar inflasi tetap stabil maka perlu peningkatan produktivitas produksi pangan, dengan keberpihakan regulasi pemerintah pada pertanian. Selain itu perlunya efisiensi rantai pasok pangan dengan melibatkan peran perumda pangan, BumDes, serta mendorong konsumsi produk lokal. Upaya itu untuk mendorong ekosistem rantai pangan yang lebih kuat terhadap konsumsi produk lokal.

Investasi pada 2024 ditopang oleh pembangunan akomodasi pariwisata, sedangkan pada 2025 didorong oleh dimulainya berbagai investasi proyek strategis. Pertumbuhan Pembetukan Modal Tetap Bruto (PMTB) diiringi dengan ICOR atau Incremental Capital Output Ratio total yang semakin kecil. Hal ini menunjukkan pertambahan output karena investasi yang semakin efisien.

Yang menarik adalah, kinerja investasi didorong oleh meningkatnya investasi asing (PMA) utamanya pembangunan berbagai akomodasi pariwisata. Investasi di sektor tersier dan peran sektor primer serta sekunder sangat kecil terhadap investasi di Bali menjadi tantangan besar, selain  persebaran investasi di wilayah Sarbagita. “Berdasarkan survei persepsi investasi di Bali, dari sisi regulasi, belum adanya standar waktu pelayanan harus menjadi perhatian,” ujarnya.

Baca juga:  Kasus COVID-19 Bali Masih Tambah 80-an, Hampir 50 Persen Ada di Satu Wilayah

Akademisi Undiknas Prof. IB. Raka Suardana, Rabu (15/1) mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan investasi berpusat di Bali Selatan yaitu infrastruktur yang lebih maju. “Kita tahu bahwa wilayah Bali Selatan memiliki infrastruktur yang lebih lengkap dan modern dibandingkan dengan daerah lain di Bali. Ketersediaan jalan raya, bandara internasional, pelabuhan, serta fasilitas penunjang pariwisata seperti hotel, restoran, dan pusat perbelanjaan membuat investor lebih tertarik menanamkan modal di kawasan ini,” ujarnya.

Selama ini Bali Selatan merupakan pusat industri pariwisata dengan destinasi terkenal seperti Kuta, Legian Seminyak, Nusa Dua dan Canggu. Tingginya arus wisatawan di daerah ini meningkatkan peluang keuntungan bagi investor di sektor perhotelan, restoran, dan hiburan. Hal ini menyebabkan investasi di sektor pariwisata lebih banyak terfokus di wilayah selatan.

Selain itu, secara empiris, daerah selatan Bali memiliki akses lebih mudah terhadap tenaga kerja terampil dan profesional di sektor pariwisata dan jasa. Ketersediaan SDM yang memadai menjadi pertimbangan penting bagi investor dalam menentukan lokasi investasi.

Baca juga:  Ketua LPD Ditemukan Tewas Di Pantai

Kebijakan perizinan melalui Online Single Submission (OSS) yang diterapkan pemerintah pusat pada dasarnya bertujuan mempermudah proses perizinan investasi. Namun, implementasinya di Bali menghadapi tantangan, terutama terkait sinkronisasi dengan kearifan lokal dan kebutuhan spesifik daerah. Beberapa pelaku usaha mengkhawatirkan perizinan yang diambil alih pusat tanpa mempertimbangkan kekhususan Bali dapat menyebabkan masalah, seperti kerusakan lingkungan dan ketidaksesuaian dengan budaya lokal.

Maka untuk mengatasi masalah tersebut, beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan antara lain, moratorium pembangunan. Pemda dapat memberlakukan moratorium pembangunan hotel dan vila di Bali Selatan untuk mencegah overkapasitas dan kerusakan lingkungan lebih lanjut.

Penguatan regulasi lokal dengan meningkatkan peran pemerintah daerah dalam proses perizinan untuk memastikan kesesuaian degan rencana tata ruang dan kearifan lokal. Pengembangan wilayah lain dapat dilakukan dengan mendorong investasi di wilayah Bali Utara dan Timur. “Caranya bisa dengan meningkatkan infrastruktur dan memberikan insentif bagi investor yang bersedia menanamkan modal di daerah tersebut,” ujarnya.

Pemerintah pusat menurutnya juga harus melakukan evaluasi sistem OSS untuk memastikan sistem ini tidak mengabaikan aspek sosial, budaya, dan lingkungan lokal. “Dengan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat, tentu harapannya distribusi investasi di Bali dapat lebih merata, mengurangi dampak negatif, dan meningkatkan kesejahteraan di seluruh wilayah pulau,” ujarnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN