I Made Sulasa Jaya. (BP/Dokumen)

Oleh I Made Sulasa Jaya

Jika budaya baru di Bali bisa dihitung bersamaan dengan kelahiran subak dengan kedatangan masyarakat Majapahit ke Bali pada abad ke 8-11 dan subak disempurnakan di abad ke-14, saat mana dimulai dengan terjadinya peristiwa besar bersatunya tujuh sekte dalan Pesamuan Tiga Gianyar yang dipimpin Mpu Kuturan, peristiwa yang terjadi 7 abad lalu.

Suatu perjalanan yang sangat panjang hingga  pembangunan fasilitas  pariwisata Bali pertama tahun 1927, dengan dibangunnya hotel Denpasar yang dikenal dengan sebutan Bali Hotel, dilanjutkan dengan pembangunan hotel Kartika Wijaya di Sanur tahun 1936.

Perkembangan pariwisata budaya dirasakan saat Gubernur Ida Bagus Mantra periode 1978-1988 ditandai dengan dibangunnya Art Centre di Denpasar sekaligus diisi dengan pelaksanaan Pesta Kesenian Bali yang pertama tahun 1979 (55 tahun lalu), tahun 1980-an pariwisata Bali mulai berkembang. Begitulah sentuhan-sentuhan peristiwa yang mengantarkan pariwisata budaya Bali yang bisa mendatangkan tourist hingga 6 juta-an sampai saat ini.

Baca juga:  Deklarasi Budaya Kerja TAKSU, Aktualisasi Peningkatan Pelayanan Publik

Walau demikian tantangannya juga banyak dari peristiwa G30S PKI, bom Bali satu dan dua, dualisme PHDI, beralihnya desa pekraman menjadi desa adat dengan majelisnya, adanya pandemi Covid-19 selama 2,5 tahun yang membuat ekonomi Bali mati suri, karena pariwisata Bali adalah satu satunya anak emas kesayangan Bali, anak yang paling pintar cari uang, hingga pertanian sebagai kembaran pariwisata juga dianaktirikan, hingga Bali lupa bahwa daya tarik pariwisata budaya Bali adalah bentang wilayah atau lanskapnya, seperti pelinggih meru di Danau Beratan dengan latar belakang pegunungan, Pura Besakih dengan latar belakang gunung Agungnya, demikian pula dengan pantai dengan latar belakang samudranya, demikian pula dengan konsep kawasan suci Pura Pura di Bali dengan keyakinan adanya para dewa, yang menyebabkan sebutan Bali “the island of gods”.

Baca juga:  Quo Vadis Modernisasi Pertanian

Lahan pertanian yang punya lanskap yang indah menghijau dan adakalanya menguning ,kini mulai beralih fungsi hingga palemahan Bali mulai memudar, demikian pula pertumbuhan penduduk pendatang yang begitu capat dan berbaurnya berbagai budaya mulai memudarkan konsep pawongan dan parhyangan Bali. Orang Bali terus sibuk dengan ritual keagamaan memuja dan memuji Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan masing masing hingga lupa beryadnya untuk leluhur berupa kehidupan lain (sarwa prani) seperti atmosfer, air, tanah, tanaman, hewan, kehangatan sosial, keseimbangan dan keharmonisan hubungan dengan alam dan lingkungan, semuanya kini rasanya tertinggal sekedar hidup dalam wacana (story telling).

Masa lalu masa penciptaan nilai/ value creation yang berorientasi jangka panjang, masa kini kebijakan lahir untuk kepentingan jangka pendek dan sesaat, terlebih lagi masa republik dan kekuasaan musiman lima tahunan yang sulit untuk mengisi jiwa pembangunan budaya phisik hingga pembangunan Bali “mataksu” , yang saat ini hanya diisi dengan pencitraan sesaat, seperti “marketing creation” yang hanya mengikuti perkembangan pasar dan warna baju (idealisme kelompok penguasa) yang berganti ganti secara politik hingga melupakan kulit sebagai manusia Bali.

Baca juga:  Politik Akomodasi

Saya masih teringat dengan celetukan alm. Gde Ardika yang saya maknai bahwa taksu Bali itu bisa hidup jika empat faktor yaitu spiritual, estetika, etika dan logika yang hidup dalam satu entitas kehidupan. Orang Bali percara manusia adalah spirit (roh) yang terbelenggu raga duniawi, estetika adalah karya terbaik sebagai persembahan, etika adalah hormat Dan disiplin menjalankan aturan dan logikanya pemimpin dipandang sebagai tokoh tauladan, sama seperti sikap prilaku masyarakat berbudaya Bali yang ditauladani pendatang dan wisatawan, dan jika konsep ini dilaksanakan bahwa Taksu Bali akan ajeg kembali.

Penulis, Pengamat Pariwisata Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *