DENPASAR, BALIPOST.com – Hari Arak se-Bali digelar tiap tanggal 29 Januari. Dua tantangan untuk menjadikan arak Bali go international yakni di lapangan arak Bali sering dicampur dengan obat lain guna menjadi menu mabuk instan.
Kedua, kalangan hotel masih malu-malu menawarkan menu arak Bali dengan mengganti istilah menjadi lokal spirit. Hal itu terungkap pada acara Dialog Merah Putih, Senin, 20 Januari 2025.
Putu Wedananta Darma Wiguna, mahasiswa Teknologi Pangan Unud mengakui masih ada kelompok anak muda yang sengaja mencampurkan arak Bali dengan berbagai macam obat-obatan agar bisa cepat mabuk alias mabuk instan.
Hanya dengan gaya-gayaan justru langkah ini dia nilai mengingkari makna Hari Arak Bali sebagai upaya melestarikan warisan leluhur. Dia mengatakan sebaiknya anak muda Bali membeli arak Bali dengan label arak Barak yang harganya lebih mahal sedikit dibandingkan mencampur dengan bahan berbahaya.
Apalagi turis sekarang mengincar stil arak original yang sifatnya lokal. ‘
Dedi, salah seorang brand dan marketing representative arak Bali mengatakan saat ini anak muda Bali semakin suka minum arak Bali. Selain itu juga banyak yang menjadi bartender profesional di hotel-hotel.
Mereka ini juga menjadi ujung tombak pemanfaatan arak Bali dicampur dengan konten menjadi koktail yang memiliki cita rasa yang luar biasa.
Saat ini, kata dia, ada sekitar 60 branding arak Bali masuk ke dunia pariwisata. Hanya saja dia menyesalkan kalangan hotel masih malu-malu menawarkan menu langsung bernama Arak Bali melainkan masih menggunakan istilah lokal spirit.
Dewan Penasihat Asosiasi Tresnaning Arak Berem Bali, Profesor I Made Agus Gelgel Wirasuta mengatakan arak bukanlah minuman butha kala, untuk itu jangan minum arak hanya dengan tujuan mabuk-mabukan.
Gelgel mengatakan Hari Arak Bali adalah bentuk pemuliaan warisan leluhur yang dikuatkan Pergub Nomor 1/ 2020 yakni menyajikan arak Bali dengan label Barak.
Ia meyakinkan kalangan hotel tak perlu ragu dan malu-malu lagi menyematkan menu arak Bali karena wisman saat ini justru mengejar yang namanya cita rasa original khas lokal seperti arak Bali. Hal ini juga diperkuat dengan Pergub Nomor 99 Tahun 2018 bahwa minimal 30 persen kandungan menu pariwisata di Bali berkonten lokal.
Ia juga mengatakan Rp15 triliun bea cukai minuman beralkohol masuk Indonesia, 80 persennya beredar di Bali. Uang membayar cukai itu berasal dari peminum di Bali.
BPOM pernah meneliti izin edar minuman beralkohol produk Bali hanya 0,79 persen menguasai pasar, 99 persen produk impor. Ini artinya, telah lama terjadi kebocoran devisa Bali.
Makanya jika masyarakat dan komponen pariwisata menggunakan 30 persen saja produk arak Bali, devisa diperkirakan mencapai Rp 4 triliun. Petani arak akan kaya dan masyarakat menikmati hasil arak untuk pembangunan Bali. (Sueca/balipost)