Seorang petani sedang melakukan perawatan tanaman padi di Subak Sembung, Denpasar. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Tantangan bisnis pertanian lebih tinggi dibandingkan sektor lain karena berkaitan dengan faktor alam yang sulit diprediksi. Khusus di Bali, ekosistem pertanian juga tidak medukung. Tak heran jika investasi sektor pertanian skala besar minim peminat.

Akademisi Pertanian Universitas Udayana (Unud) I Made Sarjana, Senin (20/1) mengatakan harga komoditas pertanian sangat fluktuatif tergantung musim. Seperti musim hujan saat ini membuat tanaman pertanian rusak. Fluktuasi harga menjadi anjlok yang kadang membuat petani rugi.

“Karena kadang juga tidak ada informasi pasar yang jelas. Tapi kalau dibandingkam pasar pariwisata kan jelas, misalnya kalau mau mengundang orang Amerika datang ke Bali, produk yang disukai jelas. Pelaku usaha bisa merencanakan produk sesuai dengan ekspektasi konsumennya,” ujarnya.

Sedangkan di sektor pertanian agak susah untuk membuat target pasar. Misalnya menanam kol, antara satu petani dan petani lainnya, tidak mengetahui komoditas yang ditanam, sehingga bisa terjadi over supply sehingga menyebabkan harganya berfluktuasi. “Jadi tidak bisa diprediksi, itulah yang menyebabkan risiko investasi di pertanian semakin tinggi,” ujarnya.

Baca juga:  Pasutri Penjual Kain Nyaleg, Separtai dan Satu Dapil

Sarjana menambahkan, di samping itu juga masalah SDM yang perlu kompetensi sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan. Jika bisnis pertanian murni dijalankan di Bali diakui memang agak susah sehingga yang terjadi saat ini adalah pertanian hanya untuk gaya hidup atau sekadar untuk mempertahankan kontribusi terhadap pelestarian lingkungan, bukan untuk berbisnis karena memang tidak menjanjikan.

Berbeda halnya dengan pariwisata seperti wisata bahari telah dipersiapkan oleh pemerintah infrastruktur dan ekosistemnya sehingga ada investor yang tertarik. Dengan demikian ia memaknai pertanian di Bali, meski di satu sisi tidak untung tapi disisi lain, dapat berkontribusi (mapunia) kepada tenaga kerja dan alam.

Baca juga:  Bali Perlu Waspadai Kenaikan Bahan Pangan

“Tapi memang tidak selalu menguntungkan karena kita tidak bisa prediksi pangsa pasarnya kemana. Kecuali ada komoditas bernilai tinggi, tapi khusus di hortikultura itu memang agak susah diprediksi,” ujarnya.

Tak hanya sektor primer, di sektor sekunder pertanian juga minim investasi karena terkendala bahan baku mengingat komoditas pertanian bersifat musiman. Misalnya usaha penyosohan beras, kini banyak yang tutup karena sifatnya musiman. Ketika bahan baku kosong mesin penyosohan tidak beroperasi sehingga hal itu menyebabkan biaya tinggi untuk perawatan.

Upaya menjaga ketahanan pangan dan pertanian diakui sulit dilakukan, apalagi untuk skala besar atau industri. “Kalau di Bali dulu banyak diperankan oleh lembaga tradisional subak. Dulu berhasil karena lembaga subak ini yang berperan optimal dalam mendukung ketahanan pangan. Dalam konteks bisnis pangan masa kini, kerap gabah di Bali dibeli orang Banyuwangi, diproses di Banyuwangi, dijual kembali kesini,” ujarnya.

Baca juga:  Selipkan Sabu di Pohon Kelapa, Dituntut 13 Tahun

Sedangkan di pulau Jawa, sektor primer dan sekunder bisa berjalan bahkan bisa menjadi pemasok pangan ke daerah lainnya walaupun penduduk pulau Jawa juga padat. Hal itu menurutnya disebabkan karena di Bali ada pilihan usaha yang lebih menggiurkan, yaitu pariwisata.

“Karena sekarang sawah 2 are digunakan untuk pertaian hasilnya kecil, tapi kalau jadi vila, warung kan lebih tinggi nilainya. Itu yang menyebabkan sektor pertanian pilihan terakhir, kalau yang lain sudah tidak bisa jalan” ucapnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *