DENPASAR, BALIPOST.com – Bali menghadapi masalah serius dalam pengelolaan ruang kehidupan. Bentangan alam yang menjadi identitas keluhuran Bali kini dihancurkan dengan dalih investasi dan kepentingan ekonomi. Bahkan, ada kecenderungan kepentingan ekonomi yang serakah membuat Bali gagal memuliakan alam sebagai ruang kehidupan.
Pandangan ini dirangkum dari pendapat para pakar dan politisi terkait dengan tata kelola Bali yang menjauh dari kearifan lokal. Bahkan, kuat indikasi Bali mulai mengabaikan prinsip-prinsip Tri Hita Karana dalam menata kehidupan di Bali.
Menurut Mantan Ketua Komisi III DPRD Bali, Anak Agung Ngurah Adhi Ardhana dan Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Ngurah Rai Denpasar, Dr. I Gede Wirata, S.Sos., S.H., MAP., yang dihubungi secara terpisah, Rabu (22/1), Bali perlu segera melakukan evaluasi atas semua kebijakan investasi. Penegakan hukum atas pelanggaran tata ruang juga perlu dilakukan.
Adhi Ardhana mengatakan, Bali yang diberkati dengan alam yang subur, adat budaya yang bersumber pada air dan pertanian, serta diberkati dengan manusia Bali yang unggul, kini menghadapi masalah yang diakibatkan oleh ulah manusai Bali sendiri. Kondisi ini diperparah oleh makin lemahnya ketahanan ekonomi krama Bali.
Investasi rakus ruang dan mengabaikan prinsip-prinsip keberlanjutan dan keselamatan juga didukung regulasi yang cenderung berpihak pada kepentingan ekonomi. ‘’Bali harus belajar dari bencana yang belakangan sering terjadi dan menelan korban jiwa. Ini indikasi Bali melakukan kesalahan dalam menjaga alam Bali,’’ jelasnya.
Dikatakannya saat menjabat Ketua Pansus RTRWP Bali maupun Haluan Pembangunan Bali Masa Depan 100 Tahun Bali Era Baru, selalu diingatkan terkait keseimbangan alam yang mesti dijaga. Ketertutupan ruang hijau di atas 60%, melestarikan sumber-sumber air dan banyak lainnya untuk dituangkan dan dijadikan peraturan.
“Ke depan kita harus membangun kesadaran bahwa apa yang kita alami saat ini adalah buah yang kita petik atas hasil yang kita lakukan sebelumnya. Membangun disiplin dimulai dari diri sendiri dan mendukung ketegasan pemerintah atau penegak hukum untuk melaksanakan perintah Undang-Undang atau Perda yang berlaku,” ujarnya.
Wirata berpendapat gerakan untuk menyelamatkan Bali harus segera dimulai. Regulasi investasi yang tak berpihak pada Bali hendaknya dipilah dan dibuatkan kajian. ‘’Bali harus diselamatkan. Bencana yang belakangan terjadi di Bali hendaknya menjadi pembelajaran jangan serakah mengelola alam,’’ ujarnya.
Ia berharap untuk mencegah kerusakan ekologis akibat alih fungsi lahan, pemerintah Bali perlu mengintegrasikan penguatan regulasi, restorasi lahan, kearifan lokal, edukasi masyarakat, dan penerapan teknologi hijau. Pendekatan yang holistik dan melibatkan semua pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat adat, hingga pelaku industri sangat penting untuk menciptakan Bali yang lebih tangguh terhadap bencana, terutama di era cuaca ekstrem.
Gede Wirata menyarankan agar Pemerintah Bali dapat melakukan beberapa langkah untuk mencegah hal tersebut. Di antaranya, penguatan regulasi tata ruang dan pengawasan. Di mana, Pemerintah Bali perlu memperketat pengawasan terhadap pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sudah ditetapkan.
Hal ini mencakup melarang alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan RTRW, terutama di daerah resapan air, lereng bukit, dan wilayah konservasi. Menerapkan sanksi tegas kepada pelaku yang melanggar peraturan tata ruang, baik individu maupun korporasi. Mengembangkan mekanisme deteksi dini melalui teknologi GIS (Geographic Information System) untuk memantau perubahan penggunaan lahan.
Selain itu, pemerintah Bali juga mesti melakukan restorasi lahan kritis. Wilayah yang sudah terlanjur mengalami kerusakan akibat alih fungsi lahan harus segera direstorasi.
Pemerintah dapat bekerja sama dengan komunitas lokal, akademisi, dan sektor swasta untuk melakukan reboisasi dengan tanaman lokal yang memiliki daya serap air tinggi. Memperkuat struktur tanah di wilayah rawan longsor melalui teknik konservasi tanah, seperti pembuatan terasering dan pemasangan vegetasi penahan longsor. (Ketut Winata/balipost)