Suasana kemacetan di Shortcut Tibubeneng, Badung. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Berbagai tantangan tengah dihadapi pariwisata Bali. Mulai dari kemacetan, masalah sampah, alih fungsi lahan, keamanan dan kenyamanan, dan lainnya. Untuk itu, DPRD Bali mendorong semua pihak untuk mencarikan dan menyusun solusi jangka pendek dan panjang terkait permasalahan ini. Sehingga, pariwisata Bali yang menjadi tulang punggung perekonomian Bali tetap eksis.

Ketua Komisi II DPRD Bali, Agung Bagus Pratiksa Linggih mengungkapkan kondisi riil yang terjadi di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Pertama, keluhan wisatawan bahwa untuk keluar dari bandara membutuhkan waktu hingga 2 jam. Ini disebabkan waktu tunggu bagasi hingga berjam-jam. Untuk itu, pihaknya mendorong agar pelayanan di Bandara Ngurah Rai ditingkatkan untuk memberikan kenyamanan kepada para wisatawan.

Selain itu, saat ini Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai hanya memiliki satu runway. Ia khawatir jika runway ini bermasalah akan menimbulkan masalah baru bagi pariwisata Bali. “Bayangkan kalau satu runway ini bermasalah dan lama untuk menyelesaikan masalahnya, berapa potensi pendapatan Bali yang kita harus korbankan? Itu yang harus menjadi pertanyaan kita bersama,” katanya.

Masalah lainnya, yaitu banyak wisatawan asing yang melakukan pelanggaran di Bali, seperti menyalahgunakan visa. Untuk itu, pihak imigrasi mesti lebih tegas terhadap hal ini.

Baca juga:  Sejumlah Pejabat Dinsos Ditahan, Bupati Karangasem Angkat Bicara

Jangan sampai wisawatan yang datang ke Bali justru mengambil alih pekerjaan masyarakat lokal di Bali. Pihaknya tidak menyalahkan satu atau dua pihak, tetapi perlu kerja sama dari multipihak baik dari sisi Imigrasi, Bea Cukai maupun Angkasa Pura untuk mengantisipasi kejadian ini.

Masalah lain yang tengah dihadapi Bali adalah soal kemacetan. Dikatakan, sektor pariwisata menjadi kunci utama pertumbuhan ekonomi Bali. Namun, sejalan dengan pulihnya sektor pariwisata kepadatan penduduk Bali juga mengalami kenaikan. Hal tersebut memicu terjadinya kemacetan di Pulau Dewata. Saat ini isu – isu terkait kemacetan di sektor pariwisata menjadi fokus utama pemerintah Provinsi Bali. Saat ini pemerintah Provinsi Bali telah menjalin kerja sama dengan kabupaten kota dalam perbaikan infrastrukur. “Soal kemacetan lalu-lintas, perlu adanya solusi untuk mengatasinya, terutama di jalan-jalan utama di Bali,” ujarnya.

Khusus kepada Dinas Perhubungan, Pratiksa Linggih minta agar dicarikan solusi-solusi untuk mengurai kemacetan yang terjadi, khususnya di wilayah Badung Selatan seperti di Canggu, Kuta dan Kuta Selatan. “Jangan hanya mencari narasi-narasi saja, yang kita butuhkan adalah solusi mengatasi kemacetan,” ujarnya.

Sementara terkait masalah sampah, diperlukan peningkatan pengelolaan sampah untuk menjaga kebersihan lingkungan. Sebab, dikatakan bahwa permasalahan sampah di Bali masih menjadi perhatian serius yang perlu dicarikan solusi penanganannya. Tidak hanya oleh pemerintah, namun juga semua pihak.

Baca juga:  Disepakati, Pemanfaatan Dua Candi untuk Kegiatan Keagamaan

Meski sudah ada Peraturan Gubernur Provinsi Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai, Peraturan Gubernur Bali Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber serta telah dibangunnya Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), namun hingga saat ini penerapan kebijakan tersebut belum maksimal sehingga perlu ada cara lain untuk mengatasi permasalahan sampah ini.

Sedangkan perihal alih fungsi lahan, para wakil rakyat menyarankan adanya pengawasan yang ketat untuk mencegah alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Ia juga berharap agar ada solusi jangka pendek untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut, serta perlu adanya kerjasama multisektor untuk mencapai solusi yang efektif.

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati menyoroti perizinan OSS (Online Single Submission) malah berkontribusi terhadap alih fungsi lahan di wilayah Bali, karena kecenderungan para investor memilih lokasi yang cepat mengembalikan modal seperti di Canggu, Kuta, dan Ubud. “Ada isu-isu sebenarnya tingkat kabupaten/kota, ada isu-isu provinsi, dan tingkat nasional. Yang menjadi sorotan kami dari BPD isu-isu nasional masalah perizinan yang mana banyak menimbulkan persoalan di Bali khususnya tentang alih fungsi lahan, over concentrated yang tentu mereka memilih tempat-tempat yang mereka anggap bisa cepat mengembalikan modal mereka,” ungkapnya usai Rapat Kerja Daerah (Rakerda) V Tahun 2025 PHRI BPD Provinsi Bali.

Baca juga:  Tiga Profesor yang "Terseret" Namanya di Kasus SPI Bersaksi

Pria yang akrab disapa Cok Ace ini mengatakan permasalahan lain adalah Golden Visa dengan jaminan yang relatif sama di seluruh Indonesia berdasarkan undang-undang. Yakni Rp5,6 miliar pada tahun pertama dan investasi Rp10 miliar.

Angka investasi tersebut terlalu murah untuk Bali. Akibatnya, banyak pihak yang berbondong-bondong berinvestasi di Bali. “Tentu kita tidak bisa bandingkan Provinsi Bali dengan provinsi lain. Di mana tempat infrastruktur, airport yang buka 24 jam. Kemudian dengan internet kita yang hampir meng-cover seluruh Bali. Tentu harga tersebut kami anggap terlalu murah untuk Bali,” terangnya.

Dengan investasi Rp10 miliar tersebut, Cok Ace mempertanyakan apa yang bisa dibangun di Bali? Angka tersebut hanya menjadi 3 unit vila. Sementara itu, besaran nilai tersebut dapat dipenuhi oleh investor lokal sendiri. (Ketut Winata/Sueca/balipost)

BAGIKAN