DENPASAR, BALIPOST.com – Pungutan Wisatawan Asing (PWA) di Bali pada Februari ini sudah berlangsung selama setahun. Namun, sangat disesalkan hasil pungutan PWA Bali sangat jauh dari harapan.
Dengan iuran Rp150.000 per wisman, PWA di Bali ditargetkan mampu mendongkrak APBD Bali hingga Rp900 miliar. Nyatanya, hingga akhir Desember baru tercapai Rp314 miliar atau 35 persen, Bali kehilangan penerimaan Rp600 miliar.
Hal ini dikritik tajam kalangan pariwisata dan akademisi Bali pada acara Dialog Merah Putih yang digelar Rabu (29/1) di Warung Bali Coffee Jl. Veteran 63 Denpasar.
Ketua PHRI Badung, I Gusti Agung Ngurah Rai Suryawijaya mengungkapkan kekecewaanya bahwa Perda No. 6 tahun 2023 ini yang menargetkan Rp900 miliar masuk ke APBD Bali namun jauh dari harapan yakni baru 35 persen. Dia kasihan potensi penerimaan Bali tak optimal karena salah dalam perencanaan, tata kelola dan teknis pemungutan PMA.
Dengan pungutan Rp150.000 atau 10 dolar AS, harusnya bisa disinergiskan dengan BRI yang sudah lebih dahulu bekerja sama dengan Imigrasi, namun sayang tak berjalan optimal. Yang terjadi, kata dia, counter PMA justru hanya diletakkan di bawah setelah proses Imigrasi selesai. Mestinya pungutan dilakukan bersamaan pembayaran VoA dan sebelum pemeriksaan di Imigrasi. Kesalahan teknis inilah yang dia kritisi agar direvisi dalam perda mendatang.
Suryawijaya menyebutkan akhir 2024 Bali dikunjungi 6,4 juta wisman dengan tingkat hunian hotel 80 – 90 persen adalah sebuah prestasi sangat luar biasa. Namun sayang PWA hanya mencapai 35 persen. Ini harus menjadi PR besar pemimpin Bali yang segera dilantik 6 Februari mendatang.
Suryawijaya yang juga Penasihat Desa Adat Dalung ini menginginkan tiga masalah Bali bisa dipecahkan lewat dana PWA yakni sampah kemacetan dan keamanan. Tiga hal ini yang belum makasimal sehingga membuat beberapa negara memberi peringatan Bali tak layak dikunjungi. Walaupun Bali banyak menyandang the best destination dunia.
Bagi dia, Bali bukan over tourism namun over konsentrasi periwisata di wilayah tertentu. Dana PWS ini selain untuk jaga alam dan budaya Bali juga lingkungan dan keamanan, jangan juga lupa sisihkan untuk promosi pariwisata Bali.
Yang perlu dan mendesak adalah Bali perlu reaksi cepat yang siap melayani wisman 24 jam ketika ada yang kecelakaan, darurat dan kemacetan. Apalagi Bali punya layanan berkelas internasional tinggal dikolaborasikan dengan yang lain. Pelayanan dan kenyamanan ini membuat wisman nyaman di Bali, bahkan tak mengeluh jika pungutannya dinaikkan jadi Rp200 ribu.
Solusinya, Pemprov Bali harus bekerja sama dengan airline atau di akomodasi hotel di tempat menginap, perhubungan dan Imigrasi. Jika pungutan ini diambil alih secara nasional oleh pusat, bagi dia, tak masalah justru lebih gampang mengontrolnya sekalipun dikenakan fee. Untuk itulah dia sarankan perlunya dibuatkan Otonomis Khusus Pariwisata.
Pelaku pariwisata Dr. Panudiana Kuhn mengkritisi 6,4 juta wisman ke Bali baru memberi pemasukan 300 miliar bagi Bali sungguh mengecewakan. Ini akibat kesalahan teknis menempatkan counter PWA di luar setelah wisman ambil barang dan urusan Imigrasi. Seharusnya, Pemprov Bali serius menempatkan SDM di counter PWA dan bisa link dengan VoA.
Kedua, banyak juga turis yang belum tahu soal pungutan ini. Sosialisasi perlu dilakukan kembali khususnya kepada negara penghasil wisman terbanyak ke Bali yakni Australia, Tiongkok dan India. Dengan catatan proses harus cepat, bukan bertele-tele. Soal insentif, bagi dia tak masalah asalkan jelas arturannya daripada mereka cuek, penghasilan Bali jadi hilang.
Sebagai perbandingan, Panudiana Kuhn yang juga konsul kehormnatan Malaysia di Bali ini menginformasikan kini wisman di Singapura dalam 20 menit sudah bisa mengambil bagasi dan pelayanan imigrasi, sedangkan di Bandara Ngurah Rai masih menunggu berjam-jam. ‘’Ini kelemahan kita juga,’’ ujarnya.
Akademisi Unwar yang juga WR II Bidang Keuangan dan Operasional, Dr. Putu Ngurah Suyatna yasa, S.E., M.Si., secara blak- blakan mengaku perencanaan, sistem dan teknis pungutan PMA di Bali sangat lemah, termasuk dalam pengawasan.
Perda sudah mengamanahkan lakukan bersinergis dan kerja sama, namun dua hal itu menjadi langka di PWA. Bahkan tak jelas siapa yang mengawasi, termasuk kita luput memungut PWA yang dari jalur darat.
Secara teori, dia mengatakan ide pungutan PWA sangat bagus guna menambah APBD Bali. Namun faktanya sulit dilaksanakan bahkan terkesan saling lempar tanggung jawab. ‘’Kasihan, Rp600 miliar potensi penerimaan Bali lenyap begitu saja,’’ ujarnya.
Dia menyarankan pemimpin Bali yang akan dilantik harus bergerak cepat dan gaspol. Tak lagi menunggu lama perbaiki dan revisi perda. Kemudian jalankan secara bertanggung jawab, terjamin akuntabilitas dan transparansinya. Untuk itu PWA harus didukung juga dengan kebijakan, perangkat lunak dan perangkat keras. (Sueca/balipost)