DENPASAR, BALIPOST.com – Bali termasuk kecolongan karena saat ini Bali didominasi bangunan stil luar Bali dan bangunan berarsitektur asing. Sementara di tiap kabupaten dan kota serta Pemprov Bali sebagian sudah memiliki Perda Bangunan Arsitektur Bali, namun sayang ibarat macan kertas perda ini tak bertaring.
Kondisi ini patut dijadikan perhatian oleh kepala daerah terpilih di Bali yang dilantik 20 Februari mendatang dalam menegakkan perda bangunan stil Bali. Jika ini dibiarkan, Bali ke depan tak lagi bernuansa kebalian.
Hal itu terungkap dalam Dialog Merah Putih di Warung Bali Coffee Jl. Veteran 63 Denpasar, Selasa (11/2). Akademisi yang juga Rektor Dwijendra University, Prof. Gede Sedana menyebut kini sedang deras masuk bangunan arsitektur asing dan luar Bali, sementara perda belum bisa mengendalikan. Makanya dia menyebut Bali kecolongan dan terkesan tak ada yang ngeh dengan kondisi ini.
Kata kuncinya, kata dia, ada di pemerintah yang mengeluarkan izin bangunan. Sementara payung hukum dan perda sudah ada, namun tak ditegakkan.
Prof. Gede Sedana melihat hampir semua bangunan di Bali sudah dijejali stil bangunan luar Bali dan stil asing seperti Eropa, Jepang dan lainnya. Toko berjejaring dan vila serta hotel tak lagi mengandung komponen arsitektur Bali. Jika dibiarkan dia khawatir akan menggerus arsitektur Bali.
Pemerintah Bali dengan Perda No. 5 tahun 2005, menurut Prof. Gede Sedana, hanya mengendalikan stil bangunan Bali. Sebab Perda Bali hanya sebatas koordinasi, sanksi dan penegakkan hukum harusnya ada di kabupaten dan kota.
Kata kuncinya, ada di daerah agar perda ini diikuti dengan sanksi yang tegas juga. Paling tidak, saat mengajukan izin IMB, harus diawasi bentuk bangunan lanjut diawasi di lapangan. Budaya membangun dulu baru ngurus izin sudah saatnya ditinggalkan dan sebuah kemunduran bagi Bali. ‘’Nah, ini harus menjadi atensi Gubernur Bali, Wali Kota dan Bupati yang akan dilantik 20 Februari mendatang,’’ tegasnya.
Di sisi lain dia mengakuinya leluhur Bali sudah sangat pintar baik dalam rancangan, tampak ukuran dengan filosofi Asta Bumi dan Asta Kosala Kosali. Termasuk bahan bangunan dan ritual diatur di Bali.
Gunakan Potensi Lokal
Dekan FT Undwi, Arya Bagus Mahadwijati Wijaatmaja, S.T., M.T., juga melihat begitu derasnya Bali diserbu berbagai stil arsitektur daerah lain dan asing. Padahal sejumlah daerah sudah memiliki perda dan aturan yang mengutamakan stil arsitektur Bali. Padahal bangunan berstil Bali tak lagi mahal, karena arsitek Bali kini sudah kian inovatif dan selalu fleksibel dengan kemajuan zaman.
Dia melihat nyaris bangunan baru dan gedung swasta dibiarkan berdiri apa adanya tak mengandung elemen arsitektur Bali seperti pepalihan dan pepatran Bali alias meninggalkan ciri khas daerah ini.
Seharusnya, pemerintah bisa memasukkan potensi arsitektur lokal ke dalam perdanya. Seperti stil Badung menggunakan ornamen gaya bebadungan, Denpasar dengan stil batu merahnya, Karangasem dengan tumpukan batu kalinya, Singaraja dengan polesan bias melela-nya.
Dikatakannya, saatnya pemerintah tegas pada pelanggar bangunan stil Bali. Sebab jika tidak, arsitektur Bali kian redup. Tinggal di Bali makin terasa berada di negara lain.
Anak muda Bali yang juga mahasiswa Arstitektur FT Undwi Denpasar, I Gede Sunarta juga ikut prihatin dengan kondisi Bali saat ini. Dia baru tahu ada Perda soal banguna stil Bali, namun sayang tak diterapkan.
Dia setuju pelanggaran perda harus ditindak tegas agar generasi muda Bali kian mencintai seni warisan leluhurnya. Makanya mahasiswa semester VIII ini mengajak generasi muda Bali ikut menjadi pengawas di lapangan dan melaporkan jika menemukan pelanggaran.
Dia juga memandang penting adanya edukasi bagi generasi muda Bali soal asritekltu Bali baik dari sisi filosofi, konsep zonasi, Tri Mandala, dan ritual. Namun, dia tegaskan arsitektur Bali harus bersif fleksibel karena ilmu arsitektur terus berkembang dan makin modern. Caranya pemerintah bisa merevisi perda dengan gaya arsitektur Bali yang kontemporer agar tetap menjaga tradisi namun mengadopsi kemajuan Iptek. (Made Sueca/balipost)