I Wayan Yudana. (BP/Istimewa)

Oleh I Wayan Yudana

Pemerintah Provinsi Bali menyelenggarakan Bulan Bahasa Bali (BBB) setipa bulan Februari. Kegiatan BBB ini merupakan upaya pelestarian bahasa dan budaya Bali terkhusus perlindungan dan penggunaan bahasa, aksara, dan sastra Bali. Inisiatif pelaksanaan BBB ini sangat mulia dalam konteks meningkatkan kesadaran akan pentingnya bahasa Bali sebagai identitas kultural masyarakat Bali.

Apabila kita melihat pelaksanaan BBB dari tahun-tahun sebelumnya, BBB seharusnya tidak hanya menjadi ajang perayaan tahunan yang bersifat seremonial semata. Sebaliknya, BBB harus mampu menciptakan dampak yang nyata terhadap penggunaan bahasa Bali dalam kehidupan sehari-hari.

Evaluasi dari pelaksanaan BBB tahun-tahun sebelumnya menunjukkan bahwa meskipun berbagai lomba dan kegiatan budaya telah digelar, penggunaan bahasa Bali dalam percakapan sehari-hari, terutama di kalangan generasi muda, belum menunjukkan peningkatan yang signifikan.

Penggunaan bahasa Bali dengan begitu banyaknya dialek lokal kerap dianggap kuno. Tidak jarang terkesan lucu oleh sebagian penutur lainnya. Alih-alih menggunakan bahasa Bali, justru dengan dialek khas lokalnya bisa menimbulkan bahan perundungan bagi penuturnya. Kenyataan ini boleh jadi merupakan salah satu tantangan utama adalah rendahnya daya tarik bahasa Bali dibandingkan bahasa Indonesia dan bahasa asing dalam komunikasi formal dan informal.

Baca juga:  Ketenagakerjaan Indonesia Tahun 2020

Media sosial, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan generasi muda, lebih banyak didominasi oleh penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa asing. Kondisi ini pula menambah deretan keparahan masif, bahasa Bali semakin terpinggirkan.

Meskipun bahasa Bali telah digunakan secara turun-temurun dalam kehidupan masyarakat, lambat laun penerapannya lebih bersifat individual. Selain itu penggunaannya juga terbatas dalam lingkup adat, upacara keagamaan, dan komunikasi dalam keluarga. Dalam ranah yang lebih luas, seperti pemerintahan, akademik dan industri, bahasa Bali masih mengalami keterbatasan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada individu yang fasih dan memahami bahasa Bali secara mendalam, pengaruhnya belum cukup kuat untuk menjadikan bahasa Bali sebagai alat komunikasi utama di tingkat yang lebih tinggi.

Di dunia pendidikan misalnya. Penggunaan bahasa Bali lebih banyak diajarkan sebagai mata pelajaran tersendiri dan bukan sebagai bahasa pengantar dalam disiplin ilmu lainnya. Akibatnya, penguasaan bahasa Bali hanya menjadi keterampilan tambahan yang tidak berdampak besar dalam kemajuan akademik dan profesional siswa. Selain itu, dalam dunia kerja, terutama di sektor formal, bahasa Bali jarang digunakan sebagai bahasa komunikasi utama. Kondisi ini menyebabkan banyak masyarakat Bali yang melihat bahasa Bali hanya sebagai simbol identitas budaya tanpa adanya nilai lebih dalam aspek sosial dan ekonomi.

Baca juga:  Bulan Bahasa Bali Sebulan, Dimulai Awal Februari

Lebih jauh, keterbatasan ini semakin diperparah dengan kurangnya upaya untuk memperluas cakupan penggunaan bahasa Bali ke dalam konteks yang lebih modern. Bahasa Bali masih belum mampu bersaing dengan bahasa Indonesia dan bahasa asing dalam wacana intelektual, penelitian ilmiah, maupun media massa. Akibatnya, generasi muda cenderung menganggap bahasa Bali sebagai bahasa yang hanya relevan dalam konteks tradisional dan tidak memiliki daya saing dalam dinamika globalisasi.

Tantangan dalam Revitalisasi

Beberapa tantangan dalam meningkatkan peran bahasa Bali di dunia pendidikan dan masyarakat dapat dikenali, di antaranya: Pertama, bahasa Bali belum menjadi bahasa pengantar dalam mata pelajaran selain mata pelajaran bahasa daerah itu sendiri. Hal ini menyebabkan siswa tidak terbiasa menggunakan bahasa Bali dalam konteks formal. Selain itu, buku teks dan metode pengajaran bahasa Bali dipandang masih bersifat konvensional, kurang menarik bagi generasi muda yang lebih tertarik pada konten digital dan interaktif.

Kedua, penggunaan bahasa Bali dalam kehidupan masyarakat selama ini lebih menunjukkan kualitas individual. Bahasa Bali belum mampu mengangkat peran penggunanya ke dalam tataran yang lebih tinggi. Untuk itu, perlu adanya strategi agar bahasa Bali tidak hanya menjadi bagian dari tradisi tetapi juga memiliki nilai lebih dalam berbagai aspek kehidupan.

Baca juga:  Memuliakan Peradaban Bali

Ketiga, selain dunia pendidikan, keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam menanamkan penggunaan bahasa Bali sebagai bahasa ibu. Di lingkungan keluarga, bahasa Bali seharusnya digunakan dalam komunikasi sehari-hari agar anak-anak terbiasa menggunakannya sejak dini. Dalam bahasa Bali, terdapat “sor-singgih basa” yang mencerminkan nilai-nilai moral dan ajaran adi luhung tentang tatakrama, penghormatan, dan etika berkomunikasi. Meskipun menghadapi tantangan, BBB masih tetap memiliki peluang besar untuk menjadi momentum revitalisasi bahasa Bali.

Peran Desa Adat, Banjar Adat, Sekaa Taruna, dan lembaga sosial lainnya sangat penting dalam mendukung revitalisasi bahasa Bali. Melalui dana Desa Adat yang telah dialokasikan, Desa Adat wajib melaksanakan BBB di wilayahnya. Melalui sinergi antara komunitas adat dan pendidikan formal, penggunaan bahasa Bali dapat lebih diperkuat dalam berbagai aspek kehidupan. Bulan Bahasa Bali harus menjadi momentum refleksi dan evaluasi terhadap efektivitas upaya pelestarian bahasa Bali. Jika tidak diiringi dengan kebijakan dan inovasi yang tepat, perayaan ini hanya akan menjadi ajang perayaan tanpa hasil yang nyata.

Penulis, Kepala SMK Negeri 1 Petang

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *