Ilustrasi sejumlah pekerja gig berada di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta. (BP/Dokumen Antara)

DENPASAR, BALIPOST.com – Wacana THR bagi mitra platform digital di Indonesia menimbulkan kekhawatiran  kenaikan beban tambahan bagi perusahaan dan berisiko menghambat pertumbuhan industri ini ke depan. Apalagi saat ini, perusahaan berbasis platform digital masih menghadapi tantangan keuangan, meskipun beberapa sudah mencapai profitabilitas. Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara), Agung Yudha.

Ia menyoroti bahwa industri on-demand telah berupaya menjaga kesejahteraan mitra melalui berbagai program seperti bantuan modal usaha dan beasiswa. Ia mengingatkan bahwa regulasi yang tidak seimbang dapat menghambat pertumbuhan bisnis dan berisiko mengurangi program kesejahteraan jangka panjang bagi mitra.

Selain itu, sektor ini telah berkontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional dengan fleksibilitas kerja yang menjadi daya tarik utama. Data menunjukkan bahwa jutaan pekerja gig, termasuk 1,8 juta di layanan ride-hailing, bergantung pada model bisnis ini, dan kebijakan yang tidak tepat dapat menyebabkan mereka kehilangan akses terhadap sumber pendapatan utama mereka.

Baca juga:  Industri Penerbangan di 2024 Tunjukkan Kinerja Positif, Maskapai Raih Pertumbuhan Ratusan Persen YoY9

Sementara itu, Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Trisakti, Prof. Dr. Aloysius Uwiyono menekankan bahwa mitra pengemudi tidak memenuhi unsur hubungan kerja berdasarkan regulasi ketenagakerjaan yang berlaku. Sehingga THR tidak bisa dipaksakan tanpa implikasi hukum.

Menurut Aloysius, dinamika pasar sebaiknya dibiarkan berkembang secara alami agar menciptakan ekosistem kemitraan yang kompetitif dan berkelanjutan. Hal ini menjadi faktor utama dalam menarik minat pelaku usaha serta investor dalam jangka panjang.

“Dalam konteks ini, peran pemerintah idealnya berfokus pada pengawasan untuk memastikan keseimbangan dan kepastian hukum tanpa melakukan intervensi langsung dalam hubungan privat kemitraan,” ujar Aloysius dalam keterangan tertulis.

Baca juga:  Wacana THR Mitra Platform Digital, Indonesia Diminta Berkaca dari Pengalaman Sejumlah Negara

Hal ini juga disampaikan Hanif Dhakiri, mantan Menteri Ketenagakerjaan. Ia menegaskan bahwa status kemitraan mitra pengemudi tidak menjadikan mereka berhak atas THR, dan kebijakan populis tanpa dasar hukum dapat merugikan iklim investasi serta keberlanjutan industri digital.

Dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu, Hanif mengingatkan bahwa beban finansial tambahan bagi perusahaan dapat berdampak negatif, seperti kenaikan tarif, pemotongan insentif, atau pengurangan jumlah mitra pengemudi. “Pemerintah untuk berhati-hati dalam menetapkan regulasi terkait THR agar tetap menjaga keseimbangan antara fleksibilitas kerja dan perlindungan bagi para pekerja,” saran Hanif.

Ketika sektor ini terhambat akibat regulasi yang kurang tepat, jutaan mitra berisiko kehilangan akses terhadap pekerjaan fleksibel yang telah menjadi sumber penghidupan mereka. Sebagai alternatif, ia menyarankan perlindungan sosial berbasis kontribusi bagi pekerja gig. Regulasi yang responsif dan inklusif menjadi kunci agar sektor ini tetap tumbuh tanpa mengorbankan kesejahteraan mitra maupun keberlanjutan industri.

Baca juga:  Tiga Destinasi Ini Jadi Pilihan Wisatawan yang Berkunjung ke Vietnam

Sejauh ini, setiap platform ride-hailing memiliki pendekatan unik dalam mendukung mitra pengemudi mereka. Dialog yang terbuka tentang solusi menjadi hal yang tak terelakkan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan, terlebih pada momen penting seperti Hari Raya Lebaran.

Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menekankan status mitra pengemudi bervariasi—sebagian menjadikannya pekerjaan utama, sementara lainnya sebagai pekerjaan sampingan. Oleh karena itu, solusi yang diterapkan harus mempertimbangkan kebutuhan yang beragam.

Ia juga mengingatkan bahwa fleksibilitas merupakan daya tarik utama pekerjaan ini, dan jika mitra diperlakukan seperti pekerja konvensional, mereka berisiko kehilangan fleksibilitas tersebut, atau bahkan jutaan mitra dapat kehilangan pekerjaan. (kmb/balipost)

BAGIKAN