
JAKARTA, BALIPOST.com – Beberapa kota dan negara telah mengalami dampak negatif akibat reklasifikasi pekerja gig yang terlalu kaku. Indonesia pun diminta untuk berkaca dari pengalaman itu.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara), Agung Yudha, Spanyol merupakan salah satu yang menerapkan Undang-undang Ketenagakerjaan yang mewajibkan pengemudi menjadi karyawan tetap. Akhirnya beberapa platform ride-hailing utama, aeperti Uber dan Deliveroo mengurangi jumlah pengemudi hingga 50 persen.
Banyak pekerja gig kehilangan pekerjaan dan fleksibilitas yang mereka andalkan untuk mencari penghasilan tambahan.
Selain itu ada kasus di Inggris, ketika Uber diwajibkan membayar tunjangan tambahan bagi mitranya, harga layanan naik sebesar 10-20 persen. Dampaknya adalah penurunan permintaan hingga 15 persen, yang justru merugikan pengemudi dan perusahaan. Jika kebijakan serupa diterapkan di Indonesia, ada potensi efek domino yang dapat menekan industri ini secara keseluruhan.
Di New York, penerapan regulasi upah minimum bagi pekerja gig menyebabkan biaya operasional meningkat hingga 15 persen, yang membuat platform menaikkan komisi dan mengurangi jumlah insentif bagi mitra pengemudi. Beberapa pengemudi mengalami penurunan pendapatan bersih akibat lonjakan biaya layanan.
Ia memahami semangat gotong royong dalam mendukung mitra di hari raya serta menghargai perhatian pemerintah terhadap mitra platform digital. Namun, pelaku industri selama ini juga sudah memberikan berbagai insentif ke para mitra.
“Selama ini, pelaku industri on-demand di Indonesia juga telah menjalankan berbagai inisiatif, antara lain bantuan modal usaha, beasiswa pendidikan bagi anak mitra, serta pemberian paket bahan pokok dan perawatan kendaraan dengan harga khusus, sebagai bagian dari upaya untuk menjaga pendapatan mitra,” papar Agung dalam siaran persnya.
Lebih lanjut dikatakan, saat ini, sektor platform digital (aplikator) telah memberikan akses bagi jutaan individu untuk memperoleh penghasilan alternatif dengan fleksibilitas tinggi, sebuah karakteristik utama yang menjadi daya tarik industri ini. Berdasarkan data ITB (2023), model kerja fleksibel ini bahkan telah berkontribusi pada 2% dari PDB Indonesia pada tahun 2022. “Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diterbitkan, jangan sampai justru menghambat pertumbuhan atau bahkan membatasi manfaat yang telah diberikan kepada para Mitra,” tambahnya.
Ia juga mengutip Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS, Indonesia memiliki 84,2 juta pekerja informal, dengan 41,6 juta di antaranya sebagai pekerja gig. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,8 juta atau 4,6% bekerja di layanan ride-hailing seperti ojek dan taksi online. “Itu artinya, regulasi yang kurang tepat pasti dapat berdampak pada jutaan individu yang menggantungkan hidupnya pada industri ini,” tegasnya.
Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, S.H., M.H., Vuru Besar Hukum Perburuhan Universitas Trisakti menilai regulasi yang mengarah pada pengubahan status ini bukan hanya berdampak pada industri ride-hailing, tetapi juga pada ekosistem investasi dan keberlanjutan ekonomi digital di Indonesia.
Menurut, pria yang akrab disapa Prof. Uwiyono ini, regulasi yang mengarah pada pengubahan status mitra ini bukan hanya berdampak pada industri ride-hailing, tetapi juga pada ekosistem investasi, keberlanjutan ekonomi digital di Indonesia, serta peluang kerja dan kesejahteraan jutaan mitra pengemudi dan keluarga mereka. Selain itu, dampaknya bisa merembet ke berbagai sektor lain yang bergantung pada layanan ride-hailing, termasuk UMKM, pariwisata, hingga logistik, yang semuanya berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi nasional.
Ia juga menambahkan bahwa secara yuridis, hubungan antara mitra pengemudi dan perusahaan aplikasi merupakan hubungan kemitraan, bukan hubungan kerja. Hal ini dipertegas oleh Pasal 15 Ayat (1), Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pelindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor Yang digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat, yang secara eksplisit menyebutkan bahwa hubungan antara perusahaan aplikasi dengan pengemudi adalah hubungan kemitraan.
Tunjangan Hari Raya (THR) sendiri diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016, yang mensyaratkan bahwa THR diberikan kepada pekerja yang memiliki hubungan kerja formal dengan perusahaan. Jika kebijakan ini dipaksakan pada hubungan antara mitra pengemudi dengan perusahaan aplikasi, maka dapat memunculkan permasalahan hukum, karena mitra pengemudi tersebut bukanlah pekerja tetap, sehingga penetapan THR bagi mitra pengemudi ini bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Sejalan dengan pendapat Prof. Uwiyono, ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengungkapkan faktor utama yang memungkinkan industri transportasi online berkembang begitu pesat adalah fleksibilitasnya. Jika sektor ini dipaksa menerapkan model bisnis konvensional, ada risiko besar pertumbuhan industri akan terhambat, bahkan berpotensi mengalami kemunduran.
Oleh karena itu, solusi yang diambil harus bersifat win-win, tanpa menghambat keberlanjutan sektor ini. Sebab, jika industri ini terganggu, yang paling terkena dampaknya adalah para mitra aplikator itu sendiri serta masyarakat luas yang mengandalkan layanan ini untuk mobilitas sehari-hari.
Dialog yang terbuka tentang solusi menjadi hal yang tak terelakkan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan, terlebih pada momen penting seperti Lebaran. “Yang terpenting adalah mencari solusi bersama yang berkelanjutan, sehingga kesejahteraan pengemudi tetap terjamin tanpa mengorbankan pertumbuhan industri secara keseluruhan,” Wijayanto menyarankan. (kmb/balipost)