Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh  Agung Kresna

Hujan lebat disertai angin kencang akhir-akhir ini banyak berdampak pada robohnya bangunan Arsitektur Tradisional Bali (Bali Post, 17/2/2025). Kondisi ini sempat membuat masyarakat awam ragu terhadap kemampuan bangunan arsitektur Bali dalam menghadapi bencana, dibanding bangunan yang menggunakan mazab arsitektur modern.

Banyaknya bangunan berArsitektur Bali yang roboh akibat diterjang cuaca ekstrem lebih disebabkan karena kesalahan pemahaman tentang arsitektur tradisional Bali, utamanya tentang kurang tepatnya penggunaan bahan atap. Hal ini sebagaimana dilansir oleh pakar arsitektur tradisional Bali Prof. Putu Rumawan Salain.

Keunikan bentuk bangunan arsitektur tradisional di Indonesia yang berbeda-beda antar daerah satu dengan lainnya, merupakan bukti kearifan budaya nenek moyang masyarakat Indonesia dalam menanggapi kondisi alam lingkungan kehidupan mereka. Hal ini merupakan bentuk strategi adaptasi yang dilakukan nenek moyang kita. Konstruksi bangunan kayu atau bambu adalah cara antisipasi nenek moyang kita atas goncangan beban yang sewaktu-waktu akan dapat menimpa bangunan mereka. Material kayu/bambu dengan sistem struktur rangka, adalah bentuk yang cukup lentur terhadap beban horizontal yang merupakan ciri beban bencana hidrometeorologi.

Baca juga:  Sampradaya

Kita semua harus mengenali karakter material dan mekanika konstruksi bangunannya. Bangunan harus memiliki tingkat kestabilan beban yang tinggi. Secara teori, titik berat bangunan harus berada di bawah titik setengah ketinggian bangunan. Itulah sebabnya nenek moyang kita banyak menggunakan bahan ijuk maupun rumbia sebagai penutup atap karena ringan. Semakin ke bawah, akan menggunakan material yang lebih berat. Seperti kayu pada tiang dan batu pada pondasi bangunan. Secara tradisional memang digunakan kayu atau bambu. Namun kemajuan teknologi memungkinkan kita menggunakan beton atau baja, sepanjang sistem strukturnya diterapkan dengan benar. Sehingga bangunan tetap lentur saat terdampak bencana.

Pemakaian genteng tanah/beton sebagai penutup atap, sementara bahan tiang tetap menggunakan kayu; telah membuat posisi titik berat bangunan berada di atas titik setengah ketinggian bangunan. Kondisi ini membuat gangguan pada mekanika konstruksi bangunan, disertai kestabilan bangunannya menjadi berkurang.

Baca juga:  Akses Jalan ke Badingkayu Tertutup Longsor

Penggunaan penutup atap dengan material logam ringan namun berwujud masif, rawan terhadap beban angin kencang. Karena beban angin menekan bidang atap di sisi kedatangan angin, sedang di sisi kepergian angin akan terjadi beban hisapan yang kuat terhadap bidang penutup atap. Beban angin dapat direduksi dengan penggunaan atap ijuk/rumbia yang poreus.

Mekanisme beban angin pada bangunan sering dipahami secara keliru. Kekuatan beban angin yang kuat justru terjadi pada beban hisapannya pada bidang atap maupun dinding bangunan. Situasi ini sering kurang diantisipasi dengan benar pada bagian konstruksi bangunannya. Sehingga acapkali arsitektur tradisionalnya yang disalahkan.

Masyarakat perlu diberikan pemahaman atas mitigasi bencana bangunan, secara tepat dan terarah. Sehingga selanjutnya dapat memahami upaya dalam mengurangi risiko atas bencana. Masyarakat harus diberi penyadaran dan peningkatan kemampuan dalam menghadapi ancaman bencana yang ada di sekitar hunian dan aktivitas keseharian mereka.

Baca juga:  Hadapi Cuaca Ekstrem, Ini Dilakukan Polresta

Seorang ahli mitigasi bencana menyatakan, bahwa sudah seharusnya kita berdamai dengan alam. Alam telah memberikan berkah kehidupan kepada kita, sudah selayaknya kalau kita yang harus menyesuaikan diri dengan alam sekitar. Bagi krama Bali sikap ini tentu bukan sesuatu yang baru, hanya mungkin perlu selalu diingatkan.

Pembangunan bangunan gedung sudah seharusnya diserahkan kepada ahlinya. Tidak sembarang orang boleh melakukan pembangunan gedung tanpa adanya penanggung jawab yang ahli. Secara tradisi kebudayaan, di Bali ada undagi sebagai penanggung jawab pembuatan suatu bangunan. Hanya undagi yang boleh melakukan perancangan dan penciptaan karya bangunan.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *