Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini memberikan keterangan selaku ahli dari pihak pemohon dalam perkara sengketa Pilkada Gorontalo Utara 2024 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (11/2/2025). (BP/Ant)

JAKARTA, BALIPOST.com – Penyelenggaraan pemilihan umum dengan sistem pemilu campuran (mixed system) dinilai sebagai solusi agar tidak lagi Indonesia memperdebatkan soal proporsional terbuka atau tertutup. Hal itu disampaikan Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini.

“Sistem pemilu yang bisa jadi opsi adalah sejatinya sistem pemilu campuran supaya kita tidak lagi berdebat soal proporsional terbuka (atau) proporsional tertutup, padahal variasi sistem pemilu dunia itu ada 400 lebih,” kata Titi, dikutip dari kantor berita Antara, Rabu (26/2).

Hal itu disampaikan Titi saat rapat dengar pendapat umum Komisi II DPR RI bersama sejumlah pakar dengan agenda mendengarkan masukan terkait evaluasi Pilkada Serentak 2024 hingga penataan sistem pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.

Baca juga:  Indonesia Targetkan Juara Umum pada ASEAN Para Games 2022

Ia menjelaskan, sistem pemilu campuran memberikan porsi pada kedaulatan rakyat untuk memilih langsung calonnya, sekaligus menjaga peran partai politik sebagai peserta pemilu untuk mempromosikan kader-kadernya.

Sistem pemilu campuran mengombinasikan antara sistem distrik berwakil tunggal (first past the post/FPTP) atau “satu daerah pemilihan (dapil), satu calon legislatif (caleg)” dengan sistem proporsional daftar tertutup (closed-list proportional representation/CLPR).

“Bagi masyarakat mereka bisa memilih langsung calegnya lewat sistem pemilu yang berwakil tunggal (first past the post) atau mayoritarian, tetapi juga partai bisa menempatkan kader-kadernya melalui sistem proporsional tertutup untuk mempromosikan kader struktural dan elite yang memang berkontribusi untuk penguatan partai,” tuturnya.

Baca juga:  Dari WHO Suarakan Kekhawatiran Peningkatan Kasus COVID-19 di Dua Negara hingga Penumpang Ojol Ditangkap Polisi

Dia mengatakan bahwa sistem pemilu campuran dianut sejumlah negara yang memiliki indeks demokrasi sangat baik, seperti Jerman, Korea Selatan, dan Jepang.

“Termasuk negara tetangga kita Thailand pun menerapkan sistem pemilu campuran,” ucapnya.

Selain agar diterapkannya sistem pemilu campuran, Titi lantas menyampaikan sejumlah masukan lainnya guna perbaikan sistem pemilu di tanah air ke depannya, di antaranya pengaturan pilkada dan pemilu terkodifikasi dalam satu naskah undang-undang guna menjamin koherensi, konsistensi, dan sinkronisasi.

“Yang materi muatannya mengatur pemilu legislatif, pemilu presiden, pilkada, dan penyelenggara pemilu dalam satu naskah undang-undang, yaitu Undang-Undang tentang Pemilihan Umum,” ujarnya.

Baca juga:  Pembangunan STHAN Mpu Kuturan Perlu Terapkan Konsep GAS

Titi juga memberikan masukan agar pemerintah membuat dua tipe keserentakan pemilu, yakni pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal.

Dia menilai dengan membuat dua tipe keserentakan pemilu maka dapat mengurai beban dari penyelenggara pemilu, membuat fokus kontestan, serta konsentrasi pemilih menjadi lebih terfokus.

“Pemilu serentak nasional memilih DPR, DPD, dan presiden, dan ini diusulkan dimulai pada 2029. Lalu, kemudian pemilu serentak lokal untuk memilih DPR, DPD, dan kepala daerah secara bersamaan dimulai pada 2031. Baru kemudian pada 2032, serentak seleksi penyelenggara pemilu dilakukan,” katanya. (Kmb/Balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *