Suasana di Pantai Sanur, Denpasar. Pantai ini menjadi salah satu destinasi yang banyak dikunjungi wisatawan saat berlibur di Bali. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Denpasar, Ibu Kota Provinsi Bali, memiliki banyak spot ikonik yang mencerminkan kekayaan budaya dan sejarah Pulau Dewata. Kota ini menawarkan berbagai destinasi yang memadukan nilai tradisional dan modern.

Berikut adalah tujuh spot ikonik di Denpasar yang wajib kalian kunjungi, dikutip dari berbagai sumber:

1. Patung Catur Muka

Patung Catur Muka adalah salah satu ikon penting Kota Denpasar yang memiliki nilai sejarah dan filosofi yang mendalam. Patung ini tidak hanya menjadi penanda pusat kota, tetapi juga memiliki makna spiritual yang kuat.

Patung Catur Muka berdiri megah di kawasan Catus Patha, yaitu simpang empat utama di Kota Denpasar. Lokasinya berada di ujung timur Jalan Gajah Mada, pusat aktivitas dan sejarah kota.

Ide pembuatan patung ini muncul setelah DPRD Kabupaten Badung mengesahkan lambang daerah mereka. Pengesahan ini kemudian mendapat persetujuan dari Menteri Dalam Negeri pada 17 Juli 1971, menandai awal pembangunan patung yang menjadi kebanggaan masyarakat Denpasar.

Pembuatan Patung Catur Muka melibatkan banyak seniman dan undagi (arsitek tradisional Bali), I Wayan Limbak, seorang pemacek pura Samuan Tiga, didukung oleh tiga undagi lainnya, yaitu I Gusti Aji Madongan, I Gusti Ngurah Cangbe, dan I Nyoman Suka.

Patung setinggi sembilan meter ini dibuat dari batu granit dan menggambarkan Dewa Brahma dengan empat wajah yang menghadap ke empat arah, masing-masing memiliki makna tersendiri:

– Timur (Jalan Surapati): Sanghyang Iswara, melambangkan kebijaksanaan.
– Barat (Jalan Gajah Mada): Sanghyang Mahadewa, melambangkan kasih sayang.
– Utara (Jalan Veteran): Sanghyang Wisnu, melambangkan kekuatan dan penyucian jiwa.
– Selatan (Jalan Udayana): Sanghyang Brahma, melambangkan penjaga ketentraman.

Di sisi tenggara Patung Catur Muka, terdapat sebuah jam lonceng besar peninggalan kolonial Belanda. Jam ini ditanamkan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1908 sebagai penanda modernisasi Kota Denpasar. Keberadaannya menjadi simbol transformasi Denpasar dari kota kerajaan menjadi kota kolonial.

2. Lapangan Puputan Badung (I Gusti Ngurah Made Agung)

Lapangan Puputan Badung, yang kini dikenal sebagai Lapangan I Gusti Ngurah Made Agung, memiliki sejarah panjang yang erat kaitannya dengan Perang Puputan Badung yang terjadi pada 20 September 1906. Peristiwa heroik ini menjadi simbol perjuangan rakyat Bali melawan kolonialisme Belanda.

Pada masa itu, lapangan ini masih berupa alun-alun, tempat di mana Raja Badung, I Gusti Ngurah Made Agung, yang juga dikenal sebagai Tjokorda Mantuk ring Rana (raja yang gugur di medan perang), bersama keluarga kerajaan dan rakyatnya, melakukan perang habis-habisan atau puputan melawan tentara Belanda. Istilah “puputan” berasal dari kata “telas” atau “puput” yang berarti habis, menggambarkan tekad mereka untuk bertempur hingga titik darah penghabisan.

Baca juga:  Wajib Dicoba! 5 Kuliner Khas Bali Digemari Gen Z

Perang ini dipicu oleh tuntutan Belanda yang meminta Raja Badung membayar ganti rugi atas tuduhan perampasan kapal Sri Komala di Pantai Sanur. Namun, Raja I Gusti Ngurah Made Agung menolak tuntutan tersebut dan memilih melawan hingga akhir.

3. Puri Agung Pemecutan

Puri Agung Pemecutan adalah salah satu istana kerajaan tertua di Bali yang menyimpan banyak kisah bersejarah.

Puri Agung Pemecutan didirikan pada tahun 1686 sebagai istana Raja Badung. Awalnya, puri ini berlokasi di sebelah barat dari posisinya saat ini. Namun, pasca Perang Puputan Badung 1906, bangunan lama hancur dan dikuasai oleh Belanda, sehingga dipindahkan ke lokasi yang sekarang.

Menurut cerita lisan masyarakat Denpasar, nama Pemecutan berasal dari kata pecut atau cemeti. Hal ini merujuk pada Kyai Ketut Pemedilan, pendiri Puri Pemecutan, yang memiliki keahlian dalam memainkan cemeti. Hingga kini, pecut masih menjadi simbol kebesaran keluarga Puri Pemecutan.

Puri Agung Pemecutan memiliki peran penting dalam Perang Puputan Badung 1906, ketika Raja Badung dan rakyatnya memilih berperang hingga titik darah penghabisan melawan Belanda. Puri Pemecutan akhirnya direbut oleh pasukan Belanda pada sore hari, setelah mereka sebelumnya berhasil menguasai Puri Denpasar.

Hingga saat ini, Puri Agung Pemecutan tetap berdiri megah dan menjadi pusat kebudayaan Bali. Puri ini sering digunakan untuk berbagai upacara adat, serta tetap dijaga oleh keturunan keluarga kerajaan. Keberadaannya menjadi saksi bisu perjuangan rakyat Bali dalam mempertahankan kedaulatan dan budayanya.

4. Patung Kala Tri Semaya

Patung Sang Kala Trisemaya yang berdiri megah di ruas Jalan Gajah Mada, dekat Jembatan Tukad Badung dan Pasar Badung, bukan sekadar karya seni biasa. Patung ini memiliki makna filosofis yang mendalam dan menjadi ikon budaya di Kota Denpasar.

Patung Sang Kala Trisemaya memiliki ukuran yang sangat besar, dengan tinggi setara tiga motor dan bobot mencapai 3,3 ton! Pengerjaannya memakan waktu tiga bulan, dikerjakan oleh I Nyoman Gede Sentana Putra (Kedux), seorang seniman asal Denpasar, bersama timnya dari Tabanan dan Gianyar.

Patung ini selesai dibuat pada 29 November 2021 dan resmi dipasang sehari setelahnya, yakni 30 November 2021 malam. Upacara peresmiannya berlangsung pada pertengahan Desember 2021, bertepatan dengan Denpasar Festival, salah satu acara seni dan budaya terbesar di Bali.

Patung ini merupakan visualisasi tiga dimensi dari kisah dalam lontar Siwagama, yang menggambarkan Sang Kala Trisemaya sebagai penjaga bumi. Sosok ini dipercaya mampu mengawasi perilaku manusia, terutama kesalahan dalam tindakan, perkataan, dan kebohongan.

Dalam kisah lontar Siwagama, diceritakan bahwa Sanghyang Dharmajaya, seorang pendeta muda dengan energi luar biasa, menimbulkan kekhawatiran para dewa. Untuk menghadapinya, diciptakan tiga sosok menakutkan, yakni Sang Kalarudra (Brahma), Sang Kalasambhu (Wisnu), dan Sang Kalamaya (Iswara)

Baca juga:  Diduga Cabuli Murid Lesnya, Pensiunan Guru Ditangkap

Ketiganya dikenal sebagai Sang Kala Tiga, yang berusaha membunuh Sanghyang Dharmajaya. Namun, mereka gagal hingga akhirnya Hyang Batara Guru sendiri yang menenangkan situasi.

Setelah pertempuran, Sang Tri Semaya membunuh Sang Kala Tiga, dan abunya berubah menjadi Gunung Wiyanggama. Namun, roh Sang Kala Tiga memohon izin kepada Bhatara Guru untuk menguasai dunia. Ia akhirnya diberikan kekuasaan saat zaman Kali (zaman kehancuran) tiba dan memiliki 108 anak sebagai penerusnya.

5. Patung Dewi Melanting

Selain Patung Sang Kala Trisemaya, di kawasan Pasar Badung, Denpasar, juga berdiri Patung Ida Ratu Mas Melanting. Patung ini memiliki makna mendalam sebagai simbol kemakmuran dan kejujuran dalam perdagangan.

Patung Ida Ratu Mas Melanting adalah karya Putu Marmar Herayukti, seorang seniman asal Banjar Gemeh, Desa Dauh Puri Kangin, Denpasar. Ia dikenal sebagai seniman ogoh-ogoh dan juga seorang seniman tato.

Patung ini memiliki tinggi 4,5 meter dan lebar 1,5 meter. Menariknya, patung ini dipasang bersamaan dengan Patung Sang Kala Trisemaya, yakni pada 30 November 2021, sebagai bagian dari upaya memperkaya ikon budaya di Kota Denpasar.

Patung ini dibuat dengan pesan khusus, yakni menanamkan prinsip adil, jujur, dan bermutu dalam dunia perdagangan. Sebagai pusat perekonomian Denpasar, Pasar Badung dianggap sebagai tempat yang tepat untuk menampilkan ikon kemakmuran ini.

Dalam teks sastra tradisional Bali, Ida Ratu Mas Melanting diyakini sebagai putri dari Dang Hyang Nirarta, seorang maharsi suci dari Jawa Timur yang turut berperan dalam membangun peradaban Hindu di Bali. Nama aslinya adalah Ida Ayu Swabhawa.

Ida Ratu Mas Melanting dikenal sebagai sosok yang bijaksana, cerdas, dan memiliki keahlian dalam perniagaan. Kecantikannya serta kejujurannya dalam berdagang membuatnya dicintai banyak pelanggan. Hingga kini, ia dianggap sebagai simbol intelektual perempuan Bali dalam bidang kewirausahaan.

6. Kawasan Suci

Jika melewati persimpangan Jalan Diponegoro, Jalan Hasanuddin, dan Jalan Sumatra di Denpasar, kalian menemukan kawasan Suci dengan Patung Rsi yang menggambarkan seorang pendeta membawa genta, yang melambangkan sosok suci dalam kehidupan masyarakat Bali. Selain memiliki nilai spiritual, patung ini juga menjadi saksi perjalanan sejarah kawasan Suci.

Patung Rsi merepresentasikan seorang rsi atau pendeta, sosok yang disucikan dalam agama Hindu. Rsi dikenal sebagai pemimpin spiritual yang memiliki kebijaksanaan dan ketenangan, serta berperan dalam menyebarkan ajaran suci kepada umat.

Diperkirakan Patung Rsi sudah ada sejak tahun 1920-an, seperti yang terlihat dalam dokumentasi foto era kolonial Belanda. Hal ini menjadikannya sebagai salah satu patung tertua di Kota Denpasar, yang telah bertahan selama lebih dari satu abad.

Baca juga:  Sejumlah Pembawa Sajam dan Belasan Motor Diamankan di Lapangan Puputan

Awalnya, Patung Rsi dipasang sejajar dengan jalan. Namun, seiring perkembangan kota dan modernisasi kawasan Suci, patung ini kemudian dipindahkan ke posisi yang lebih tinggi agar lebih mudah terlihat dan menjadi landmark yang lebih mencolok.

Sebelum menjadi pusat pertokoan emas seperti sekarang, kawasan Suci memiliki fungsi yang sangat berbeda, yakni Terminal Angkutan Umum di era 1970-1980-an dan pusat kuliner malam.

Pada 1980-an, terminal Suci mengalami perubahan besar. Terminal diubah menjadi pusat pertokoan bertingkat, Suci Plaza, dengan area parkir bawah tanah. Setelah itu, kawasan ini berkembang menjadi kompleks pertokoan emas yang terkenal, khususnya di Jalan Hasanuddin, yang kini dipenuhi deretan toko perhiasan.

7. Pantai Sanur

Pantai Sanur adalah salah satu pantai paling terkenal di Bali yang memiliki daya tarik tersendiri. Selain keindahan alamnya, Pantai Sanur juga memiliki sejarah panjang yang menjadikannya bagian penting dari perkembangan pariwisata di Bali.

Sebelum menjadi destinasi wisata, Sanur dulunya adalah perkampungan nelayan yang dihuni oleh masyarakat Bali yang menggantungkan hidup dari hasil laut. Penduduk setempat memanfaatkan pantai ini untuk melaut, mencari ikan, dan melakukan berbagai aktivitas ekonomi berbasis kelautan.

Sejarah Pantai Sanur dapat ditelusuri hingga abad ke-10, sebagaimana tertulis dalam Prasasti Raja Kasari Warmadewa pada tahun 917 M. Prasasti ini ditemukan di kawasan Blanjong, Sanur, dan menjadi bukti bahwa daerah ini telah dihuni dan memiliki peran penting dalam sejarah kerajaan Bali Kuno.

Pantai Sanur juga menjadi saksi sejarah penting dalam peristiwa Puputan Badung pada tahun 1906. Saat itu, pasukan kolonial Belanda mendarat di Sanur sebelum menyerang Kerajaan Badung. Peristiwa ini menjadi salah satu momen heroik dalam sejarah perjuangan rakyat Bali melawan penjajahan.

Pantai Sanur mulai dikenal dunia pada tahun 1930-an, setelah seniman Belgia, Adrien-Jean Le Mayeur, menetap di Sanur dan menjadikannya inspirasi lukisan-lukisannya. Le Mayeur menikah dengan penari Bali terkenal, Ni Polok, dan lukisannya yang menggambarkan keindahan Sanur membantu mempopulerkan tempat ini sebagai destinasi wisata internasional. Rumahnya kini menjadi Museum Le Mayeur, yang masih bisa dikunjungi hingga sekarang.

Sanur menjadi salah satu kawasan wisata pertama di Bali yang berkembang pesat. Pada tahun 1963, Hotel Bali Beach (sekarang Grand Inna Bali Beach) dibangun di Sanur, menjadikannya hotel berbintang pertama di Bali. Sejak saat itu, Sanur terus berkembang menjadi destinasi wisata yang lebih tenang dibandingkan Kuta, dengan daya tarik utama berupa keindahan sunrise, pasir putih, serta budaya yang tetap terjaga. (Wahyu Widya/Agus Pradnyana/Andin Lyra/Pande Paron/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *