
Oleh I Gusti Ketut Widana
Tak dapat dimungkiri, Bali dikenal dan diyakini memiliki inner power yang disebut “Taksu”. Taksu itu, semacam kekuatan aniskala, berasal dari daya magis/mistis yang dijiwai nilai religis. Menjadikan alam Bali (bhuwana agung) ‘tenget’ dan manusianya (bhuwana alit) memancarkan kharisma khas. Lantaran rutin disucikan lewat media ritual bernuansa sakral yang tiada henti dilakukan sepanjang hari.
Namun kini, terasa sekali taksu Bali semakin memudar. Salah satu penyebabnya adalah “kerusakan alam lingkungan hingga kriminalitas yang marak, akibat keserakahan dan ketamakan dengan terlalu memuja materi yang menyelimuti hampir semua komponen masyarakat Bali” (BP, Sabtu, 1/3).
Termasuk oleh sebab serbuan bahkan gempuran kaum migran (lokal, asing) yang menjadikan Bali sebagai surganya industri pariwisata, Memungkinkan segala kepentingan berbagai pihak terakomodasi. Tak terkecuali yang bersinggungan dengan tindak kejahatan besar plus mencengangkan, seperti terbongkarnya keberadaan pabrik narkoba di Jimbaran, Canggu dan Payangan tahun lalu. Imbasnya, citra/image Bali yang sejak dulu begitu metaksu, kini pelan tapi pasti semakin memudar, bahkan bisa jadi lebur-hancur.
Ternyata dibalik manis madu glamornya dunia pariwisata tersaji juga sisi-sisi gelap dan pahitnya ekses yang ditimbulkan. Tak ubahnya seperti memakan buah simalakama; di satu sisi geliat pariwisata terbukti berhasil menjadi leading sector peraup devisa plus pendapatan asli daerah. Meski tidak selalu berkorelasi langsung dengan peningkatan kesejahteraan krama Bali. Di lain pihak, gemuruh dunia pariwisata dengan segala aktivitas bisnisnya yang berkembang terlalu materialis, kapitalis dan bertendensi hedonis, turut andil mempercepat proses rapuh dan runtuhnya taksu Bali.
Karakteristik masyarakat (krama) Bali yang semula berbasis sosialistis-agraris-religis pun kini telah bertransformasi menjadi berwatak sosialistis-bisnis-kapitalistis. Konsekuensinya, segala potensi alam Bali dan pesona menakjubkan dari aktivitas seni, tradisi dan religi dengan mudah bahkan murah (-an) disulap menjadi objek komersialisasi/komodifikasi. Semuanya atas nama paham ‘moneyteistik’ (keuangan yang maha kuasa), semata-mata demi tetap bersinar dan berputarnya bola dunia pariwisata, yang dianggap dapat menjaga stabilitas dan keberlanjutan pembangunan kabupaten/kota di Bali.
Namun patut dicermati dan disadari Bali itu tergolong pulau kecil. Hanya saja, demi kepentingan investasi bertajuk pariwisata, kemudian diseting bak gadis mungil nan centil, merangsang kaum pendatang behasrat mecil (menjamah-menjarah) dengan dalih mencari nafkah. Masalahnya, tidak hanya kedatangan kaum intelektuil (terpelajar), turut juga masuk menyusup orang-orang tengil (tidak jelas, tanpa identitas), lalu berulah usil bin jahil, berdampak maraknya tindak kriminil (kejahatan), mulai dari pencurian, perampokan, hingga pembunuhan yang kerap terjadi.
Tak heran, wajah Bali pun kian dekil cuil, keajegannya tidak stabil, membuat krama Bali labil (goyah), kebilbil (tergagap) seperti berada di tengah titi ugal-agil, akibat dikepung situasi kondisi yang semakin terkontaminasi polusi negatif/destruktif dunia pariwisata. Ketenangan, kenyamanan dan kedamaian gumi Bali terusik. Bahkan tatanan sosial kultural yang secara ideal-konseptual telah dibangun leluhur sejak awal berdasar nilai-nilai adiluhur/adiluhung tampak terus termarginal bahkan terpental.
Beranalogi dengan hukum alam (rta), di situ ada yang namanya rotasi kodrati: berawal dari kreasi Hyang Widhi melalui utpeti (tercipta/penciptaan), lanjut bergerak dalam irama kosmis sthiti (terjaga/pelihara), sampai berakhir pada proses pralina (peleburan) – kembali ke asal – sang sangkan paraning dumadi. Begitupun dengan kekuatan Taksu, yang telah menjadikan Bali bersinar, tempat bersthana para Dewa (Pulau Dewata) di ribuan Pura (Pulau Kahyangan), hingga menjelma menjadi Pulau Surga bagi para wisatawan (lokal, nasional, internasional).
Boleh jadi lantaran sebutan/julukan sebagai Pulau Surga (the island of paradise) inilah Pulau Bali dijadikan, tepatnya dimanfaatkan sebagaimana layaknya surga untuk melakukan apa saja yang dirasakan akan mendatangkan keuntungan, mendapat kepuasan atau terpenuhinya hasrat kenikmatan materi/indrawi. Dari sinilah pangkal muasalnya, Bali yang sejatinya Pulau Suci menjadi ternodai hingga membuat Taksu Bali semakin memudar saat ini. Adakah krama Bali sadar tentang hal ini, atau malah terus terbuai iming-iming gemirincing dollar turis demi tetap meraup pipis?
Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar