
Oleh Sadwika Salain
Tanggal 1919 Mei 2024, optimisme perkembangan telemedicine Indonesia kembali menyeruak, datang dari Puskesmas Sumerta Kelod, Denpasar, Bali. Hari itu, Elon Musk, CEO berderet perusahaan prestisius dunia (X, Space-X, Tesla, Neural-Link, StarLink dan masih banyak lagi) datang dan meresmikan peluncuran Starlink di Indonesia, terkhusus untuk mendukung layanan telemedicine di Indonesia.
Proyek ini disambut antusias oleh masyarakat dan pemerintah, mengingat potensinya dalam mempercepat akses kesehatan digital bagi daerah-daerah terpencil di Indonesia. No wonder!
Setelah lebih dari tiga dasawarsa setelah diperkenalkan, telemedicine hanya jalan di tempat dan tidak mengalami kemajuan yang berarti.
Kendala utamanya adalah, ketersediaan jaringan konektifikas internet cepat dan menjangkau daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar), yang pada umumnya memiliki keterbatasan tenaga medis, utamanya dokter spesialis.
Namun, di balik gemerlap harapan yang tinggi dari ketersediaan
konektifitas internet ini, ada sejumlah pertimbangan yang perlu dicermati secara mendalam.
Apa itu Telemedicine dan Potensinya? Telemedicine adalah layanan kesehatan jarak jauh dengan pemanfaatan teknologi informasi, komunikasi dan internet, meliputi konsultasi dokter-pasien, diagnosis, pemantauan kondisi kesehatan, dan bahkan terapi. Sebagai negara kepulauan dengan bentang geografi dan demografi yang sangat luas, telemedicine menjadi solusi efektif untuk mengatasi ketimpangan akses kesehatan, terutama di daerah 3T.
Diantara tantangan yang ada, ketersediaan akses internet cepat dan tersebar secara merata merupakan kendala terbesar yang dihadapi Indonesia. Starlink menawarkan solusi revolusioner bagi konektivitas internet di Indonesia. Dengan kecepatan internet hingga 250 Mbps dan latensi rendah, Starlink menjadi angin segar bagi realisasi aplikasi telemedicine utamanya bagi layanan yang membutuhkan stabilitas jaringan tinggi, seperti konsultasi video dokter-pasien, pengiriman data medis berbasis cloud, hingga operasi bedah jarak jauh (telesurgery).
Bagi Indonesia, manfaat utama Starlink adalah kemampuannya mencapai daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh jaringan fiber optik atau satelit konvensional. Selain itu, Starlink juga memiliki potensi besar untuk mendukung program pemerintah dalam mencapai target Universal Health Coverage (UHC).
Dengan biaya operasional lebih rendah dibanding pembangunan infrastruktur fisik, teknologi ini dapat menjadi alternatif ekonomis
untuk memperluas jangkauan layanan kesehatan. Namun, di balik semua kelebihannya, Starlink juga membawa risiko yang tidak boleh diabaikan. Pertama, soal kedaulatan data. Sebagai platform yang dikembangkan oleh perusahaan asing, Starlink berpotensi menjadi alat pemantauan militer Amerika Serikat.
Risiko ini semakin nyata jika kita melihat rekam jejak Elon Musk dalam politik praktis. Oleh Donald Trump, Musk ditunjuk sebagai Komandan Department of Government Efficiency (DOGE) yang kontroversial. Terbaru, DOGE menutup USAid Department yang didirikan Presiden JF Kennedy pada tahun 1961 sebagai agen Amerika Serikat melancarkan berbagai strategi soft diplomacy-nya di berbagai belahan dunia.
Kedua, ada risiko ketergantungan teknologi. Jika Indonesia terlalu bergantung pada Starlink tanpa mengembangkan alternatif lokal, maka negara ini akan rentan terhadap gangguan layanan atau peningkatan tarif sewa. Contohnya, ketika Starlink mengalami gangguan teknis global pada tahun 2022, banyak pengguna di seluruh dunia mengalami downtime signifikan.
Bagi sektor kesehatan, downtime seperti ini bisa berdampak fatal.
Terakhir, ada tantangan finansial. Meski Starlink menjanjikan akses internet cepat, biaya langganan bulanan sekitar Rp1,5 juta—belum
termasuk harga perangkat awal sekitar Rp7 juta—masih tergolong mahal bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Sa
Meskipun Starlink menawarkan banyak manfaat, Indonesia tidak boleh hanya bergantung pada satu teknologi asing. Pemerintah perlu mendorong pengembangan alternatif lokal, seperti proyek satelit Nusantara Satu atau Palapa Ring yang sudah berjalan sebagai salah satu andalan proyek Nawa Cita yang sempat tertunda. Kemitraan
dengan perusahaan teknologi lokal seperti Telkom Indonesia atau vendor lainnya juga bisa menjadi strategi efektif untuk membangun ekosistem telemedicine yang mandiri. Dengan dukungan penuh dari pemerintah, proyek-proyek ini bisa menjadi fondasi kuat bagi transformasi digital di sektor kesehatan.
Indonesia harus bersikap optimis namun waspada. Sambil memanfaatkan Starlink sebagai solusi jangka pendek, pemerintah dan pemangku kepentingan harus bekerja keras untuk mengembangkan alternatif lokal yang lebih aman dan berkelanjutan.
Penulis, Dosen Elektromedik Universitas Bali Internasional, Denpasar