Ngurah Weda Sahadewa. (BP/Istimewa)

Oleh Sahadewa

Kenyataan yaitu yang dijadikan kehidupan dan kehidupan itu bukan seharusnya dijadikan gagal akan tetapi berhasil dalam berproses. Oleh karena itu, tidak ada yang mungkin kemudian pun tidak mungkin untuk dijadikan selalu mungkin melainkan mungkin ataupun tidak mungkin ada jika kemungkinan itu selalu ada.

Kelanjutan dalam kenyataan sering dipahami dengan pemahaman yang terbalik, inilah sebuah logika yang tidak logis. Akan tetapi seringkali terkesan logis sehingga sah untuk dijadikan panutan dalam berideologi termasuk ideologi apapun. Inilah biang dari kehancuran dalam kenyataan ketika seluruhnya itu tidak dipahami dengan kekritisan yang perlu dan patut juga layak.

Yang non-utama tidak dapat diancam sebagai tidak utama namun disebut sebagai non-utama karena dipolitisasi sehingga hidup terancam dengan sendirinya. Yang non-utama sering menjadi olok-olok sehingga yang utamalah yang bernilai tinggi. Untuk itu perlu ada evaluasi kritis agar tidak terjebak dalam kemampuan yang tidak seimbang agar kelak menjadi semakin bijaksana.

Kekuatan untuk menjadi bijaksana inilah yang seringkali tidak dapat muncul karena terjebak dalam rutinitas. Termasuk dalam rutinitas budaya. Dalam konteks inilah budaya mesti dijadikan pembelajaran bukan sebaliknya menjadikan diri semakin fanatik. Fanatisme budaya sudah pasti menghasilkan kebodohan baru sehingga kreativitas budaya wajar untuk dijadikan dasar berkembang.

Baca juga:  Jejak dan Endapan Nilai Demokrasi Sumpah Pemuda

Agar tidak terjebak kejenuhan yang sering dijadikan sebagai ajang fanatisme semu. Fanatisme semu sering muncul karena rutinitas yang dianggap sebagai kebenaran mutlak. Agama dalam konteks ini menjadi berbahaya. Namun jika ada budaya, agama pun dapat dilembutkan namun sebaliknya budaya dapat menjadi keras ataupun kekerasan baru jika gagal dalam mengantisipasi kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Untuk itulah tulisan ini hendak menunjukkan jika keutamaan dalam berbudaya seringkali dapat terjebak dalam keutamaan semu seperti yang dapat terjadi dalam agama sekalipun. Untuk itu pula dalam kesempatan ini harus dapat dijadikan sebagai pembelajaran bahwa kebudayaan dengan budayanya tidak untuk sekedar polesan apalagi pemoles agama agar terkesan agama tidak keras.

Agama menjadi keras jika terjebak dalam rutinitas formal sedangkan disinilah peran budaya untuk menangkal agar beragama dengan cerdas tidak mengabaikan kreativitas. Namun kreativitas itu jangan dijebakkan dalam semata-mata mencari keuntungan atas nama agama pun juga tidak memanipulasi budaya dengan selimut agama sekalipun. Itulah maka dalam kesempatan kali ini agar dikenali setiap kekerasaan atas nama budaya agama maupun agama itu sendiri agar tidak mengalir ke dalam budaya.

Baca juga:  Memupuk Pendidikan Karakter Saat Belajar di Rumah

Ketika manusia berbudaya maka pastilah budinya diasah. Ketajaman budi inilah yang mengantarkan sebuah kehalusan dalam berbudaya dengan dasar berlandaskan tidak merendahkan orang lain. Apalagi semata-mata dengan dasar kasta. Sudah pasti budaya seperti itu bukanlah budaya yang sejati karena kekastaan hanyalah sebuah jebakan yang meruntuhkan kehalusan budi manusia.

Kehalusan budi memang dapat diukur salah satunya dengan kesantunan dalam berbahasa akan tetapi bahasa yang santun tidak akan bernilai apabila didalamnya tidak ada ketulusan untuk mengangkat seluruh hidup manusia secara menyeluruh bukan satu dua orang saja. Oleh karena itu, janganlah sampai berbahasa dijadikan sebagai kedok pun juga tidak meninggalkan budi bahasa.

Oleh karena itu pula keutamaan yang non-utama diartikan sebagai kekuatan masyarakat untuk mengangkat diri mereka agar setara. Setara dalam kemampuan untuk belajar dalam bentuk apapun juga bahkan belajar di dalam kerja (karma) sehingga manusia tidak dalam kondisi yang memabukkan dirinya dengan segala pengetahuan maupun kekayaan dan kekuasaannya.

Baca juga:  Pembangunan Bali dan Era Revolusi Industri 4.0

Itulah yang menjadi dasar terjadinya kepolosan diri seseorang yang tulus. Akan tetapi bagaimana agar ketulusan itu tidak dijadikan sebagai barang dagangan oleh pihak lain sehingga seluruh interaksi saling berinisiatif untuk mengangkat semua saudara sebangsa dan setanah air dalam kapasitas yang menunjukkan untuk tidak mempolitisasi keadaan masyarakat demi kepentingannya sendiri maupun kelompok dan komunitasnya saja. Oleh karenanya saya berpendapat bahwa tidak mungkin sesuatu yang non-utama kemudian dijadikan sebagai utama jika bukan karena faktor politik dan di sinilah kehancuran itu akan datang.

Pertanyaannya adalah apakah ada ketulusan dalam berpolitik? Karena itu tidak dapat disandarkan sepenuhnya nilai yang non-utama itu untuk digantungkan dalam politik melainkan ditanamkan dalam kesadaran murni. Kesadaran yang menunjukkan jiwa manusia yang sepenuhnya mengabdi untuk kepentingan masyarakat luas bukan untuk masyarakat kecil dengan dasar fanatisme buta. Jika masyarakat luaspun ternyata sudah terkontaminasi oleh fanatisme buta maka itu bukan lagi masyarakat luas melainkan masyarakat yang sudah terkooptasi. Karena masyarakat luas pasti tidak mengutamakan fanatisme.

Penulis, Dosen Fakultas Filsafat UGM

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *