I Gede Nandya Oktora Panasea. (BP/Istimewa)

Oleh I Gede Nandya Oktora Panasea

Perekonomian Indonesia memasuki tahun 2025 dengan sinyal bahaya yang tak bisa lagi diabaikan. Penerimaan pajak anjlok, membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kian terbebani. Hingga 28 Februari 2025, pendapatan negara baru mencapai Rp316,9 triliun atau 10,5% dari target Rp3.005,1 triliun.

Penerimaan pajak yang seharusnya menjadi tulang punggung, justru merosot 30,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Defisit semakin lebar, sementara opsi untuk menambalnya semakin sempit.

Sumber masalah ini begitu kompleks, namun benang merahnya jelas; perekonomian tak bergerak seperti yang diharapkan. Harga komoditas ekspor unggulan seperti batu bara dan minyak terus menukik, menekan industri tambang yang selama ini menjadi kontributor pajak terbesar. Di sisi lain, implementasi sistem pajak baru, Coretax, yang diharapkan menyederhanakan proses administrasi, justru menciptakan kekacauan di lapangan.

Alih-alih meningkatkan kepatuhan, sistem ini menjadi labirin yang membingungkan wajib pajak, menyebabkan keterlambatan dan penurunan setoran. Kebijakan fiskal pun tak banyak membantu. Tarif Efektif Rata-Rata (TER) pada Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang diterapkan awal tahun ini justru mengurangi setorannpajak perusahaan.

Baca juga:  “Pegat Wakan” Dharma Terputus?

Sementara itu, relaksasi pembayaran Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) menunda pemasukan negara yang seharusnya bisa langsung digunakan untuk menopang anggaran. Di tengah kebutuhan
dana yang mendesak, pemerintah justru kehilangan momentum untuk menggenjot pendapatan.

Langkah efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah pun tak sepenuhnya menjadi solusi. Pemangkasan belanja hingga ratusan
triliun rupiah memangkas banyak program, tetapi dampaknya bisa seperti pisau bermata dua. Jika dilakukan serampangan, penghematan ini bukan hanya memperlambat pertumbuhan, tetapi juga menekan daya beli masyarakat.

Pemotongan yang tidak tepat justru bisa membuat ekonomi tersendat
lebih lama. Di balik semua ini, ada satu masalah mendasar yang tak kunjung terselesaikan: tax ratio Indonesia yang stagnan di angka 10,39%, jauh tertinggal dibandingkan Denmark dengan 43,4%, serta negara-negara ASEAN, seperti; Thailand, Vietnam, dan Singapura yang masing-masing mencapai 17,18%, 16,21%, dan 12,96%.

Baca juga:  ‘’Umah’’ Arsitektur Tradisional Bali

Sektor informal dan transaksi digital yang berkembang pesat masih
banyak yang luput dari kewajiban pajak, menandakan potensi peneri-
maan negara yang sangat besar namun belum tergarap optimal.
Sementara itu, negara-negara dengan tax ratio tinggi telah lama berbenah.

Amerika Serikat dan Jerman, misalnya, menerapkan big data dan kecerdasan buatan (AI) untuk melacak transaksi ekonomi secara real-time, memastikan semua pihak membayar pajak sesuai kewajiban mereka. Yang lebih menarik, pajak yang mereka bayarkan benar-benar kembali ke masyarakat dalam bentuk pendidikan dan layanan kesehatan gratis, jaminan sosial yang kokoh, serta infrastruktur publik yang berkualitas.

Di Denmark, warga mendapat akses kesehatan tanpa biaya, sementara di Jerman, pendidikan tinggi bisa dinikmati tanpa pungutan memberatkan. Kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan tumbuh karena mereka melihat pajak bukan sekadar beban, tetapi investasi sosial yang nyata. Jika Indonesia ingin keluar dari lingkaran defisit dan utang, reformasi pajak bukan sekadar keharusan, melainkan langkah tak terhindarkan.

Baca juga:  Statistik untuk Bangsa

Indonesia tidak punya pilihan selain berbenah. Jika sistem pajak tidak segera diperbaiki, jika pengawasan tidak diperketat, dan jika strategi fiskal tidak diarahkan dengan lebih cermat, kita hanya akan terus mengulang pola yang sama: defisit yang membesar, utang yang menumpuk, dan ekonomi yang kian terpuruk. Pemerintah harus segera mengambil langkah konkret dengan memperbaiki sistem perpajakan, memperluas basis pajak, serta memastikan bahwa setiap rupiah yang masuk dikelola dengan transparan dan akuntabel.

Saatnya bergerak sebelum terlambat. Reformasi pajak bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan mendesak. Jika tidak sekarang, kapan lagi?

Penulis, Dosen dan Koordinator UPIKS FEB Universitas Udayana

BAGIKAN