Dr. Ir. Ketut Suriasih, M.App.Sc. (BP/Istimewa)

Oleh Dr. Ir Ketut Suriasih, M.App.Sc

Kalimat hidupkan semangat Kartini, bukan cuma seremonial adalah tantangan untuk melampaui sekadar upacara bendera atau kebaya-kebayaan setiap 21 April. Mari ubah semangat Kartini menjadi aksi nyata yang transformatif. Setiap April, kita melihat sekolah mengadakan lomba memasak/kebaya, instansi menggelar seminar tanpa tindak lanjut, media ramai dengan quotes Kartini, tapi minim analisis kritis.

Bagaimana kalau ganti lomba kostum dengan debat tentang isu gender kontemporer (misal: apakah perempuan modern masih perlu berkorban seperti Kartini). Jadikan April sebagai bulan aksi konkret, donasi buku untuk anak perempuan di pelosok, atau pelatihan skill digital untuk ibu-ibu.

Kartini bukan simbol “kepasrahan”, tapi pemberontakan terdidik. Contoh modern, Butet Manurung tinggalkan zona nyaman, didik masyarakat adat. Mira Lesmana bertahan di industri film yang didominasi laki-laki.

Perempuan nelayan/petani berjuang di sektor yang kerap dianggap “maskulin”. Di kampus dorong jurusan teknik/STEM agar lebih inklusif untuk perempuan. Di kantor protes jika meeting selalu dipimpin laki-laki tanpa alasan jelas.

Kartini mendirikan sekolah untuk membebaskan, bukan sekadar mencetak ijazah.
 Problem hari ini banyak anak perempuan putus sekolah karena dinikahkan. Sekolah agama tertentu masih ajarkan “perempuan tidak perlu tinggi-tinggi sekolah”.

Perjuangan gender bukan hanya tugas perempuan. Kartini didukung oleh suaminya (R.M. Joyodiningrat) yang mengizinkannya mendirikan sekolah. Laki-laki masa kini bisa menolak warisan boys will be boys yang merusak, aktif di gerakan seperti He For She. Mengidolakan Kartini bukan berarti menganggapnya sempurna. Kartini pernah ambivalen terhadap poligami (kritik tapi akhirnya menikah dengan pria beristri).

Baca juga:  Meneguhkan Pentingnya ”Sustainable Tourism”

Kritik untuk gerakan Kartini modern jangan hanya fokus pada perempuan elite perkotaan. Dan selipkan isu disabilitas, perempuan adat, dan buruh migran dalam narasi kesetaraan. Dari peringatan ke perlawanan “Kartini tidak mau dikenang, tapi diteladani, tidak mau dipuja, tapi diteruskan perlawanannya”,dengan tanda-tanda ketika perempuan tidak lagi merasa harus memilih antara karir dan keluarga, ketika laki-laki tidak risih dipimpin Perempuan, ketika 21 April bukan lagi tentang kebaya, tapi tentang kebijakan. Semangat Kartini bukan hanya acara untuk dikenang, tapi dihidupi dengan aksi. Kalimat ini adalah seruan untuk menjadikan nilai-nilai perjuangan Kartini sebagai napas dalam tindakan sehari-hari, bukan sekadar simbolisme. Berikut cara konkret menghidupkannya: Kartini tidak hanya menulis surat ia mendirikan sekolah.

Lawan stereotip halus perempuan tidak cocok di bidang STEM tunjukkan bahwa kita bisa, laki-laki tidak boleh menangis tegaskan bahwa emosi manusiawi, bukan soal gender. Dukung sesama perempuan beli produk UMKM Perempuan, stop women tearing women down (misal: menghakimi pilihan karir/personal perempuan lain). Tantang sistem dengan cara Kartini seperti melawan feodalisme dan kolonialisme.

Baca juga:  Ini, "Kartini" AirNav Penjaga Langit Bali

Hari ini, kita bisa melawan kebijakan diskriminatif dan dukung RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual), kritik aturan perusahaan yang tidak ramah perempuan (contoh: cuti haid tidak diberikan). Budaya patriarki tolak victim-blaming dalam kasus kekerasan seksual. Dan normalisasi pembicaraan tentang kesehatan reproduksi.

Perjuangan Kartini memang mengajarkan bahwa perubahan besar berawal dari pemikiran kritis, pendidikan, dan keteguhan hati nilai-nilai yang tetap relevan dalam perjuangan kesetaraan gender hingga saat ini. Kartini menginspirasi perempuan untuk bersuara, berpendidikan, dan mandiri. Kartini membuktikan bahwa kesadaran akan ketidakadilan adalah langkah pertama menuju perubahan.

Ia mempertanyakan tradisi yang membatasi perempuan, seperti pingit, pernikahan dini, dan poligami melalui surat-suratnya, ia menyampaikan gagasan tentang kesetaraan, bukan hanya untuk perempuan Jawa, tetapi juga dalam konteks kemanusiaan universal. Pesan untuk masa kini adalah perjuangan gender harus dimulai dari kesadaran kritis terhadap norma-norma yang menindas. Kartini yakin bahwa pengetahuan adalah kekuatan untuk meraih kemandirian.

Kartini menjadi simbol bahwa perjuangan gender harus kontekstual, tidak hanya meniru barat tetapi juga mempertimbangkan budaya lokal. Semangat Kartini terlihat dalam perempuan-perempuan yang memimpin di berbagai bidang, dari sains hingga politik. Ketimpangan gender masih ada (upah, kekerasan domestik, stigma sosial), tetapi semangat Kartini mengingatkan bahwa perubahan mungkin dilakukan.

Baca juga:  Peringati Hari Kartini, Ini yang Dilakukan Polantas Polresta

Perjuangan gender butuh pendekatan multidimensi melalui pendidikan keluarga harus mengajarkan kesetaraan sejak dini (contoh: anak laki-laki diajak memasak) dan reformasi kurikulum sekolah yang bebas stereotip gender. Melalui ekonomi Kartini 2025 perempuan butuh akses ke modal UMKM (contoh: program KUR khusus perempuan).

Lapangan kerja non-tradisional (e.g., bidang teknologi), melalui politik kuota 30% perempuan di parlemen belum cukup jika caleg perempuan hanya “pemenuhan syarat” tanpa kapasitas. sistem politik masih oligarkis dan mahal, melalui budaya dengan melawan tradisi yang diskriminatif, mitos perempuan tidak boleh naik gunung saat menstruasi, melalui hukum dengan merevisi UU seperti: UU Perkawinan (usia nikah 19 tahun untuk semua).

UU Ketenagakerjaan yang melindungi pekerja domestik perempuan. Perjuangan gender memang rumit, tapi justru itu membuatnya bermakna. Mari terus kritis terhadap kemunduran. kreatif dalam solusidan kolektif dalam aksi.

Kutipan penyemangat “Jadilah obor yang menerangi, bukan lilin yang terbakar sendiri.”
”Perubahan dimulai ketika seseorang berani mengambil langkah meski kecil.”

Setiap 21 April, kita memperingati hari Kartini, tapi yang lebih penting di tanggal 22 April dan seterusnya yang kita lakukan membuat “semangat Kartini” tetap bernyawa.

Penulis, Rektor Bali Dwipa University

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *