semangat
Tradisi mepatung tetap dilaksanakan umat Hindu di Jembrana. (BP/kmb)

DENPASAR, BALIPOST.com – Menjelang Hari Suci Galungan, umat Hindu di Bali melakukan berbagai persiapan dalam tradisi Penampahan Galungan.

Salah satu tradisi yang kian ditinggalkan adalah mepatung, yakni pembelian babi kemudian membagi dagingnya secara sama rata kepada masing-masing orang yang ikut serta dalam kegiatan ini.

Seiring perkembangan zaman, mepatung mulai ditinggalkan. Padahal, tradisi ini merupakan penerapan konsep menyama braya dan bergotong royong yang menjadi salah satu ciri budaya Bali.

Gede Angga Mahardika warga Denpasar Utara, mengungkapkan keluarganya sudah tidak lagi melaksanakan mepatung. Kesibukan, keterbatasan waktu, dan kemudahan membeli daging di pasar menjadi alasan utama.

Baca juga:  Selama Pandemi, Uang Denda Masker di Denpasar Capai Ratusan Juta

“Kami lebih memilih cara yang praktis. Dulu semua gotong royong, tapi sekarang banyak yang lebih suka beli daging langsung. Anak muda juga lebih jarang terlibat karena sibuk dan kurang paham makna tradisi,” jelas pria berusia 33 tahun ini, Selasa (22/4).

Meskipun demikian, Gede Angga tetap menjaga semangat Penampahan Galungan dengan membuat lawar dan olahan khas lainnya, seperti sate, komoh, tum, dan urutan.

Ia menilai keterlibatan seluruh anggota keluarga tetap penting, meski tanpa tradisi mepatung.

Baca juga:  Ditinggal Pulang Kampung, Jalanan Denpasar Lengang saat Galungan

Hal senada disampaikan I Gusti Bagus Hartama Wiguna, yang juga tidak lagi menjalankan mepatung karena pertimbangan ekonomi dan lebih memilih melakukan Penampahan Galungan dengan membeli makanan secara jadi.

“Harga babi sekarang mahal. Saya lebih memilih beli daging sesuai kebutuhan di pasar. Tahun ini semua olahan Penampahan saya beli, tidak buat sendiri,” ujar pria asal Karangasem ini.

Meski mulai ditinggalkan, I Gusti Ngurah Mardika yang merupakan warga Karangasem, mengaku masih setia melestarikan tradisi mepatung.

Bersama keluarga dan tetangganya, ia tetap menjalankan pembagian daging secara adil sebagai bentuk solidaritas sosial, terutama bagi warga yang kurang mampu.

Baca juga:  Ditinggal Tengok Cucu saat Galungan, Bale Delod Terbakar

“Biasanya yang ikut sekitar 10 sampai 15 KK. Biaya yang disiapkan bisa mencapai kurang lebih Rp500 ribu, tergantung harga daging. Ini bukan hanya soal daging, tapi soal kebersamaan dan menjaga warisan leluhur,” ujar Mardika.

Menurutnya, mepatung bukan sekadar urusan makanan, melainkan simbol gotong royong dan rasa peduli terhadap sesama. Ia berharap generasi muda tetap melestarikan adat dan tradisi Bali tanpa mengurangi maknanya. (Wahyu Widya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *