DENPASAR, BALIPOST.com – Kenaikan dolar tidak memengaruhi para pengusaha produk kerajinan seperti kain tenun. Apalagi yang bahan bakunya dari dalam negeri.
Ini diakui beberapa pengusaha tekstil di Bali, salah satunya pemilik Tarum Bali I Made Andika Putra. Ia mengaku tidak memiliki masalah dengan kenaikan dolar. Karena bahan bakunya dibeli dengan menggunakan rupiah dan itu pun masih diproduksi di dalam negeri.
Pemasarannya pun saat ini sudah mulai bagus. Karena banyak turis datang langsung ke tempatnya untuk membeli kain. Yang ia khawatirkan justru adanya bom di Surabaya. “Mudah-mudahan tidak berdampak buruk bagi Bali,” ujarnya.
Produk Tarum Bali, 100 persen orderannya datang dari negara lain seperti Eropa, Amerika, Kanada, Swedia, Swiss, Jerman, Australia, Jepang, California, Afrika, Singapura dan Malaysia.
Pemilik usaha tenun yang lain, Ketut Wiadnyana juga mengatakan hal yang sama. “Penurunan sih ada tetapi tidak terlalu bermasalah karena kami selalu berinovasi dalam produk sehingga para pecinta tenun tetap memburu produk yang berkualitas, limited, dan berinovasi. Seperti produk songket batik alam jembrana dan songket tanpa sambungan (songket negara) yang kesemuanya sudah kami HKI (hak kekayaan intelektual) untuk motifnya,” bebernya.
Menurutnya, perajin dengan segmen pasar lokal tidak akan mengalami masalah dengan kenaikan dolar. Buktinya, minggu lalu ia ikut pameran membawa songket Jembrana tetap banyak peminat. “Kemungkinan yang bermasalah adalah bahan baku benang yang akan naik,” imbuhnya.
Putrimas sebagian besar orderannya dari dalam negeri. Namun juga ada dari luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Hongkong, Jepang.
Sementara itu lesunya ekspor produk asal Bali, menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali Putu Astawa, karena daya saing pengusaha Bali lemah. Berdasarkan data statistik ekspor Bali triwulan I 2018 naik 13,71 persen (yoy). Naik, namun tidak signifikan seperti kenaikan impor Bali triwulan I 2018 yaitu 180,36 persen (yoy).
Menurut data Disperindag tahun 2017, ekspor Provinsi Bali pada tahun 2017 naik 18,34 persen. Kenaikan ini lebih rendah dari tahun 2016 yang saat itu naik 19,29 persen. Ekspor didominasi komoditi pertanian sebesar 55, 17 persen, terbesar kedua hasil kerajinan sebesar 25,43 persen, hasil industri 18,78 persen, hasil perkebunan 0,33 persen.
Selain daya saing lemah, kemampuan penetrasi pasar ke negara lain dan memelihara pasar yang sudah ada juga belum optimal. Penetrasi pasar yang belum optimal lantaran dukungan dana yang terbatas. Maka dari itu promosi harus digencarkan.
Menurutnya kenaikan dolar berdampak bagi pengusaha yang bahan bakunya impor. “Yang bahan bakunya bukan impor tentu menguntungkan,” pungkasnya.
Memang keluhan bahan baku kerap disampaikan perajin. Pemerintah pun telah memiliki jurus KITE (kemudahan impor tujuan ekspor) untuk memudahkan pengusaha dalam mendapatkan bahan baku. Namun kesulitan bahan baku tidak hanya dialami pengusaha yang mendapatkan bahan baku dari luar negeri tapi juga dalam negeri.
Kepala Bank Indonesia KPw Bali Causa Iman Karana menyangsikan kenaikan dolar merugikan pengusaha Bali. Menurutnya yang tidak diuntungkan adalah importir. “Kalau eksportir barangkali lebih diuntungkan,” pungkasnya. (Citta Maya/balipost)