DENPASAR, BALIPOST.com – Greenpeace Indonesia merilis data mencengangkan terkait dampak negatif PLTU Celukan Bawang terhadap kesehatan masyarakat. Seperti diketahui, saat ini sedang direncanakan PLTU Celukan Bawang II dengan kapasitas 2×330 Megawatt atau hampir dua kali lipat dari kapasitas PLTU Celukan Bawang I sebesar 3×142 Megawatt.
Kapasitas sebesar itu akan menghasilkan lebih banyak polusi udara yang tidak hanya merugikan masyarakat sekitar. Tapi juga kerusakan ekosistem, yang diperkirakan meluas hingga Taman Nasional Bali Barat dan Pantai Lovina.
Ahli Polusi Udara Greenpeace, Lauri Myllivirta di Denpasar, Jumat (13/7) memaparkan dampak berbahaya PLTU berbahan bakar batubara itu berdasarkan pemodelan dari Universitas Harvard. Diperkirakan ada 190 kematian dini dan 70 kelahiran dengan berat rendah setiap tahunnya di Bali akibat emisi PLTU Celukan Bawang I.
Jika PLTU ini beroperasi selama 30 tahun, jumlah total kematian dini diprediksi mencapai sekitar 7.000 jiwa. Angka ini belum seberapa bila ditambah dengan ekspansi PLTU Celukan Bawang II, yakni diperkirakan mencapai 19.000 kematian dini selama masa operasi 30 tahun. “Bahaya bagi kesehatan masyarakat berasal dari emisi PM2.5 dan NO2,” ujarnya.
Dikatakan Lauri, PM2.5 adalah partikel halus yang dihasilkan dari semua jenis pembakaran termasuk pembangkit listrik. Paparan dalam jangka panjang dapat menyebabkan asma, ISPA terutama pada anak-anak, kanker paru-paru dan juga memperpendek usia harapan untuk hidup.
Hampir sama, NO2 atau Nitrogen Dioksida juga meningkatkan risiko penyakit pernafasan dan jantung. Emisi NO2, SO2, dan debu dari PLTU Celukan Bawang secara bersamaan dapat menyebabkan hujan asam yang merusak tanaman dan tanah. Termasuk membawa kandungan logam berat beracun seperti arsenik, nikel, krom, timbal dan merkuri.
“Ekspansi PLTU Celukan Bawang di Bali, salah satu destinasi wisata terpopuler dunia, dapat membahayakan 200.000 jiwa dari paparan polusi udara yang diatas ambang batas aman, dan 30.000 jiwa berpotensi terkena paparan akumulasi merkuri pada level yang tidak aman. Emisi berbahaya ini juga dapat menjadi ancaman bagi populasi lumba-lumba dan ekosistem sekitar PLTU Celukan Bawang lainnya,” paparnya.
Terkait merkuri, lanjut Lauri, PLTU Celukan Bawang diproyeksi akan mendistribusikan sekitar 15 kg merkuri per tahun dan mengendap di daratan sekitar PLTU. Sekitar 40 persen dari merkuri ini akan terdistribusi pada lahan hutan dan 49 persen pada lahan pertanian. Termasuk di Pantai Lovina yang letaknya 20-30 km, hingga Taman Nasional Bali Barat yang berjarak sekitar 40-50 km dari PLTU.
Lumba-lumba yang mencari makan di wilayah perairan itu akan sangat terpengaruh oleh zat beracun itu. “Proyek ekspansi PLTU Celukan Bawang berjalan tanpa penilaian yang tepat dan benar terhadap dampak polusi yang dihasilkan. Batas emisi yang ditetapkan oleh pemerintah lokal sangat lemah dan mengakibatkan dampak kesehatan yang lebih buruk,” pungkasnya.
Tidak Wajar
Juru Kampanye Iklim dan Energi untuk Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika mengatakan ekspansi PLTU Celukan Bawang II yang diusulkan ini sangatlah tidak wajar. Terutama karena didorong oleh keputusan Gubernur Bali tanpa penilaian yang memadai dari dampak merkuri yang dihasilkan dan polutan berbahaya lainnya. “Bahkan tidak ada perhitungan jumlah emisi merkuri yang tertera dalam AMDAL proyek ekspansi tersebut,” ujarnya.
Dikatakan, Pemprov Bali mestinya melakukan pemantauan terhadap pencemaran udara dan air, kelayakan pengelolaan limbah PLTU, serta membatalkan ekspansi pembangkit listrik tersebut. Kemudian, Pemkab Buleleng agar memantau kualitas udara dan melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala terhadap warga di sekitar PLTU.
Untuk Pemerintah Pusat agar melakukan transisi energi dengan pentahapan yang jelas dari PLTU batubara ke energi terbarukan. Mengingat, Bali saat ini masih mengandalkan sektor pariwisata.
Udara yang tercemar dari pembangkit batu bara akan mengusir para wisatawan. Dampaknya, tentu membuat ribuan pekerjaan berisiko dan mengancam rencana pemerintah untuk memperluas pariwisata di Indonesia.
“Pemerintah ingin menarik lebih banyak wisatawan asing ke Bali, tetapi siapa yang akan ingin mengunjungi sebuah pulau yang udaranya tercemar oleh emisi dari batu bara,” kata Hindun Mulaika.
Pantai Lovina misalnya, merupakan kawasan wisata populer di Bali Utara yang terkenal dengan pantai pasir hitam, terumbu karang, dan lumba-lumba. Emisi dari pembangkit batu bara tentu akan membahayakan lingkungan di objek wisata tersebut. Begitu juga di Taman Nasional Bali Barat, rumah bagi satwa langka dan dilindungi termasuk macan tutul Jawa, trenggiling dan jalak Bali yang statusnya sangat terancam.
Perwakilan Tim Kuasa Hukum warga penggugat dan Greenpeace Indonesia, I Wayan “Gendo” Suardana menegaskan bila perluasan PLTU Celukan Bawang akan memperburuk kualitas lingkungan yang sudah tercemar oleh PLTU yang saat ini sudah ada. Terlebih, saksi ahli penggugat yakni Prof. Ery M. Egantara sebelumnya telah menjelaskan bahwa perhitungan dampak juga perlu dilakukan dalam prakiraan waktu jangka panjang.
Akumulasi polutan berbahaya tidak akan langsung terasa pada tahun- tahun pertama beroperasinya PLTU tersebut, tetapi kalau dihitung sampai 5-10 tahun ke depan, ancamannya bisa sangat berbeda. Persidangan yang menghadirkan saksi ahli dari pihak penggugat pada Kamis (12/7) juga telah menekankan pentingnya pemodelan emisi dengan metodologi yang tepat, dimana sayangnya hal ini tidak kita lihat dalam AMDAL ekspansi PLTU Celukan Bawang. “Kualitas AMDAL yang buruk akan mempersulit prakiraan dampak. Padahal, AMDAL menjadi acuan utama dalam pengambilan keputusan proyek tersebut layak dilanjutkan atau tidak,” ujarnya. (Rindra Devita/balipost)