Senjata
Ilustrasi sidang. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Tuntutan ringan dan menjadi rekor tuntutan terendah dalam sejarah sepanjang sidang pidana korupsi tercetak di Pengadilan Tipikor Denpasar. Dua terdakwa kasus dugaan suap terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN), Jumat (27/7) dituntut ringan oleh JPU dari Kejati Bali.

Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Denpasar, dua terdakwa yakni
Direktur PT Bali Merine Service, Rustyasi Pilemon (32) dituntut pidana penjara selama setahun enam bulan.

Yang miris dan menjadi sejarah dalam sidang pidana korupsi, JPU Wayan Suardi menuntut terdakwa II, Adi Wicaksono dengan pidana penjara selama sepuluh bulan. Ya, dalam pidana korupsi terdakwa dituntut 10 bulan. Tuntutan ini merupakan tuntutan di bawah setahun yang merupakan rekor dan sejarah dalam pidana korupsi.

Sebagaimana diketahui, kedua terdakwa tersebut diadili atas dugaan suap dan gratifikasi terkait pemalsuan dokumen kapal dari Dream Tahiti berbendera Prancis menjadi Dream Bali.

Baca juga:  Kasus COVID-19 Meroket, Stok Oksigen Dipantau

JPU Wayan Suardi dalam surat tuntutannya mengatakan, bahwa perbuatan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan UU RI No.20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor.31 Tahun 1999 tentang Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Yang lebih tinggi dituntut adalah Rustyasi Pilemon. Oleh jaksa dia dituntut  setahun dan 6 bulan sedangkan terdakwa Adi Wicaksono selama  10 bulan. Kedua terdakwa juga dituntut dengan pidana denda yang berbeda pula. Terdakwa Rustyadi dituntut denda sebesar Rp 50 juta subsider 5 bulan kurungan sedangkan Adi sebesar Rp 35 juta subsider dua bulan penjara.

Menanggapi tuntutan ini, kedua terdakwa yang didampingi kuasa hukumnya masing-masing menyatakan akan mengajukan pledoi atau nota pembelaan secara tertulis. Sebelumnya dalam dakwaan disebutkan bahwa perbuatan kedua terdakwa dianggap telah merugikan keuangan negara dengan hilangnya hak negara dari pendapatan pajak impor kapal Dream Tahiti/Dream Bali sebesar Rp 1.096.449.000.

Baca juga:  Kasus Pembangunan Gedung SDN 1 Banjarangkan, Pengurus Nasdem Dipanggil Kejati

Kasus ini berawal dari pembelian kapal berbendera Prancis oleh saksi Ni Made Sumbersari dan Michel Malo Menager melalui Loic Bonnet pemilik perusahaan Archipel Croisieres di Prancis seharga USD 80.000. Kemudian dua saksi tersebut mendatangi terdakwa Rustyasi Palemon selaku Direktur agent Isle Marine untuk mengurus perubahan bendera kapal dari Perancis menjadi Indonesia.

Terdakwa Palemon menghubungi terdakwa Wicaksono selaku kapten kapal Freelance untuk menyelesaikan proses perubahan bendera tersebut.

Wicaksono menjalin komunikasi dengan Joni Edy Susanto (terpidana dalam kasus yang sama) selaku PNS kantor KSOP Benoa, yang kemudian disanggupinya dengan bantuan almarhum Heru Supryadi selaku PNS di kantor Otiritas Pelabuhan Tanjung Wangi, Banyuwangi.

Baca juga:  Kebakaran di Kantor Samsat Renon, Ini Kesaksian Satpam

Berbekal dokumen palsu itulah, Dream Tahiti yang kemudian berubah nama menjadi Dream Bali beroperasi selama dua tahun dengan rute pelayaran di perairan Bali-Lombok, Serangan-Nusa Penida, dan Nusa Lambongan.

Setelah proses pembuatan dokumen palsu itu selesai, pemilik kapal yang juga saksi dalam perkara ini Ni Made Sari dan Eric Michel Malo Menager menyerahkan uang sebesar Rp 300 juta kepada terdakwa Pilemon. Oleh terdakwa Pilemon, uang tersebut kemudian ditransfer ke terdakwa Adi Wicaksono sebesar Rp 160 juta. Dari Adi Wicaksono, uang sebesar Rp 160 juta itu ditransfer legi ke Jony Edy Susanto sebesar Rp 47 juta dan secara tunai diserahkan sebanyak dua kali. Terdakwa Adi Wicaksono juga mentransfer uang sebesar Rp 50 juta kepada almarhum Heru Supriyadi. (miasa/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *