krama
Tradisi Ngusabha Bukakak di Desa Pakraman Sangsit Dangin Yeh, Desa Giri Emas, Sawan. (BP/sos)
SINGARAJA, BALIPOST.com – Ribuan krama Desa Pakraman Sangsit Dangin Yeh, Desa Giri Emas, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng menggelar tradisi Ngusaba Desa dan Nini yang dikenal dengan sebutan Ngusaba Bukakak, Rabu (12/4).

Pelaksanaan warisan leluhur ini sebagai wujud syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewi Sri yang senantiasa memberikan kemakmuran yang berlimpah ruah.

Menyambut tradisi ini, ribuan warga  berduyun – duyun menuju Pura Subak Sangsit Dangin Yeh. Dengan semangat mayadnya, mereka tak memperdulikan teriknya sinar matahari. Kakinya tetap melangkah cepat menuju pura untuk menyaksikan Sarad Bukakak yang hanya boleh dibuat oleh krama Dadia Pasek Bedulu.

Saat itu, terlihat pemandangan yang sangat menarik. Beberapa krama dewasa dan anak-anak menghias wajahnya dengan cat hitam. Itu diyakini sebagai simbol kebahagiaan. Sekitar pukul 13.00 Wita, para pengogong (pengusung) Sarad Bukakak yang berjumlah ratusan orang itu, mengikuti prosesi ritual mejaya-jaya di Pura Pancoran Mas dan Pura Gunung Sekar.

Baca juga:  Jalan di Desa Sudaji Tertutup Material Longsoran

Usai melakukan persembahyangan nunas bije kuning di tempat itu, para pengogong yang didominasi anak muda ini langsung berhamburan dan berlari kencang menuju Pura Subak menjemput Sarad Bukakak yang berhiaskan daun enau untuk diajak malancaran ke Pura Sakti Desa Pakraman Sawan yang jaraknya sekitar lima kilometer dari Pura Subak Sangsit Dangin Yeh.

Hal itu dilakukan dengan berjalan kaki. Sarad tersebut nantinya akan kembali dibawa ke Pura Subak. Prosesi ini pun mampu menarik perhatian ribuan warga lainnya. Kelian Subak Sangsit Dangin Yeh, Ketut Sukrana menuturkan tradisi tersebut sudah menjadi warisan secara turun-temurun yang dijalankan setiap dua tahun sekali.

Baca juga:  Tradisi "Nyakan Diwang" di Kayuputih

Berdasarkan informasi yang ada, itu telah dijalankan saat jaman Kerajaan Daha Panjalu yang saat itu dibawah kepemimpinan Raja Sri Aji Jaya Pangus, sekitar 1181 M -1193 M.

Menurut cerita, kala itu raja Jaya Pangus adalah penganut sekta Wisnu. Kekuasaannya didukung mayoritas wangsa Siwa Shambu yang tak lain adalah masyarakat Desa Pakraman Sangsit Dangin Yeh. Lalu, raja Jaya Pangus mengadakan penyebaran ajaran memakai konsep Dwi Tunggal menyatukan sekta Wisnu dan Sekta Siwa dengan simbol pemujaan Nandi Garuda yang dalam bahasa Bali Kuni disebut Bukakak.

Wisnu kemudian disimbolkan sebagai burung Garuda yang dibuat dari beberapa daun enau layaknya sedang mengepakkan sayap. Sementara yang menungganginya dipakai seekor Babi hitam mulus yang diproses menjadi dua warna yakni, hitam (warna bulu asli) melambangkan Dewa Wisnu, separuh lagi warna putih (bulu di bersihkan) melambangkan Dewa Ciwa. Babi itu sendiri adalah simbul Dewa Sambu. “Sampai sekarang, tradisi ini diyakini sebagai lambang kesejahteraan dan kemakmuran,” ujar Sukrana.

Baca juga:  Ulur-ulur, Tradisi Khas Warga Tulungagung

Sementara itu, Perbekel Giri Emas Wayan Sunarsa mengatakan guna mempertahankan tradisi ini, pihaknya pun akan berencana akan menjalankannya setiap setahun sekali. Hal ini pun akan diatur melalui peraturan desa. “Sebenarnya ini dilaksanakan setiap tahun. Tetapi karena adanya pembangunan pura di desa, jadinya kadang dilaksanakan dua tahun sekali,” tandasnya. (sosiawan/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *