DENPASAR, BALIPOST.com – Warga Celukan Bawang dan Greenpeace Indonesia tetap melakukan upaya hukum lanjutan izin Lingkungan PLTU Celukan Bawang tahap kedua. Mereka mendatangi PTUN Denpasar untuk mengajukan permohonan banding atas putusan yang telah dijatuhkan pada 16 Agustus 2018.
Majelis Hukum memutuskan perkara gugatan tidak diterima. Berdasarkan pertimbangan hakim, penggugat dianggap tidak mempunyai hak untuk mengajukan gugatan, dikarenakan tidak adanya kepentingan yang dirugikan atas terbitnya SK Izin Lingkungan PLTU Celukan Bawang Tahap dua 2×330 MW.
Direktur YLBHI-LBH Bali Dewa Putu Adnyana mengatakan, pertimbangan tersebut sangat mencederai rasa keadilan. Karena dasar pertimbangan tersebut justru bertentangan dengan dasar hukum yang dirujuk oleh majelis yaitu Pasal 1 angka 25 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Pasal itu menyebutkan tentang pengertian dari sengketa lingkungan hidup dimana sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup,” tegas Dewa.
Dengan pasal tersebut, warga atau badan hukum yang mengajukan gugatan atas tindakan yang berpotensi mencemari lingkungan dapat diterima oleh hakim.
Kuasa Hukum Masyarakat Sipil, I Wayan Suardana menilai, selain kegagalan tafsir atas sengketa lingkungan hidup, pertimbangan dalam putusan tersebut juga janggal. Pasalnya hakim menolak permohonan pemeriksaan setempat. “Hakim tidak mengetahui langsung penderitaan warga di sekitar lokasi obyek sengketa,” terang Suardana yang akrab disapa Gendo ini.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Didit Haryo, menjelaskan keanehan dari putusan hakim selanjutnya adalah saat menyatakan belum ada bukti ilmiah yang menunjukan potensi pencemaran yang ditimbulkan oleh PLTU batubara. Padahal kata Didit, beberapa bukti kajian ilmiah telah dihadirkan oleh penggugat.
Salah satunya adalah kajian berjudul “Menilai kualitas udara, dampak racun dan kesehatan dari ekspansi PLTU Batu Bara” yang ditulis oleh Laury Myllyvirta dengan kode bukti P. 29. “Hal ini mengundang tanda tanya besar, mengapa hakim bisa menyatakan belum ada bukti ilmiah terkait dengan dampak PLTU Batu Bara,” tegas Didit.
Mangku Wijayana, warga yang bermukim di sekitar PLTU Celukan Bawang menyesalkan putusan hakim yang menolak gugatan. Mangku menilai hakim tidak memiliki pemahaman di lapangan atas dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas PLTU tersebut. “Warga akan tetap mendukung perlawanan terhadap adanya ekspansi PLTU Celukan Bawang, karena dampak kesehatan dan mata pencaharian yang mulai dirasakan warga sekitar,” sebutnya. (kmb/balipost)