Uang
Ilustrasi. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Fenomena financial technologi (fintech) menjadi pilihan baru bagi masyarakat dalam hal pemenuhan pembiayaan. Namun beberapa fintech ternyata memberikan suku bunga tinggi, lebih tinggi dari bunga perbankan.

Apalagi sumber dana atau investor bisa dari orang perorangan. Dengan demikian, fintech berpotensi menjadi lintah darah digital.

Kepala OJK Bali Nusra Hizbullah mengatakan, suku bunga fintech memang belum diatur seperti bank umum. Sehingga beberapa fintech memberikan suku bunga tinggi. Suku bunga yang tergolong tinggi menurutnya adalah yang melebihi suku bunga yang diatur atau diperbolehkan LPS. “Kalau suku bunga bank kan mengikuti suku bunga penjaminan LPS. Sementara fintech belum dijamin LPS,” ungkapnya Senin (17/9).

Diakui, memang ada masyarakat yang mengeluhkan bahwa suku bunga fintech terlalu tinggi, sehingga hampir sama dengan rentenir. Namun tidak dipungkiri juga ada beberapa fintech yang memberikan suku bunga wajar, artinya hampir sama dengan suku bunga bank.

Baca juga:  Debit Air Baku Turun Drastis, Sawah di Lima Kecamatan Rawan Kekeringan

Maka dari itu, OJK mengimbau fintech agar tidak memberi bunga terlalu tinggi. Selain itu, OJK juga mengimbau masyarakat agar berhati-hati mengambil pinjaman dari fintech. “Cari fintech yang bagus dan terdaftar di OJK dengan suku bunga yang wajar,” imbaunya.

Ia menyebut ke depan OJK akan mengatur mengenai hal tersebut.

Pemerhati Perbankan dari Undiknas Prof. Gede Sri Darma mensinyalir, fintech juga bisa menjadi lintah darah digital. Karena penipuan yang dilakukan fintech atau sikap masyarakat yang kurang jujur.

Apalagi suku bunga fintech belum diatur sehingga suku bunga yang diberikan bisa tinggi. Menurutnya acuan suku bunga pinjaman adalah dari suku bunga simpanan. Semakin mendekati nol suku bunga simpanannya, maka selisih suku bunga kredit yaitu 1 – 2 persen. Sehingga suku bunga di atas 2 atau 3 persen dinilai tinggi. “Secara keseluruhan, lintah darat bisa saja terjadi di era fintech. Ini akan terjadi karena proses pinjam meminjam uang hanya berpindah saja dari yang dulunya konvensional sekarang menggunakan teknologi,” ungkapnya.

Baca juga:  Wayan Kembar Dibekuk, Giliran Pacarnya Diburu

Maka dari itu masyarakat harus pintar dan jeli memilih fintech yang bagus dan memiliki ijin dari OJK. Terlepas dari itu, menurut Rektor Undiknas ini fintech adalah salah satu upaya pemerintah mendukung inklusi keuangan masyarakat. “Fintech awalnya diijinkan beroperasi oleh OJK karena banyak masyarakat yang tidak memiliki akses ke perbankan. Umumnya mereka yang ada di pedesaan, pegunungan, perbatasan Indonesia yang jauh dari bank, atau mereka yang tidak memiliki akses atau rekening di Lembaga Jasa Keuangan (LJK),” bebernya.

Baca juga:  Parkir Liar di Jalan Protokol Kembali Ditertibkan, Puluhan Kendaraan Diperiksa

Namun di tengah perjalanan, banyak pihak yang memanfaatkan fintech dengan memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat akan teknologi terbaru dunia keuangan. Begitu pula masyarakat memanfaatkan fintech untuk memperoleh dana. Namun setelah itu tidak membayar.

Jika ini tidak diatur dan dikendalikan pemerintah, ia khawatir fintech ini akan menjadi sesuatu yang menakutkan bagi masyarakat yang sudah terlanjur tidak percaya dengan fintech. Opininya tidak jauh berbeda dengan asuransi di masa lalu. Yaitu akibat dari agen yang kurang bagus, tidak tersistem, tidak disetor uang polisnya, ketika klaim tidak bisa dicairkan, maka asuransi pun akan hancur. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *