Verifikasi
Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh I Nyoman Santun

Kasus pembohongan publik yang dilakukan oleh Ratna Sarumpaet akhirnya menyeret para elite politik Indonesia. Paling tidak Prabowo Subianto, Fadli Zon, Amin Rais mesti berurusan dengan polisi. Amin Rais menyatakan datang  yang menurut pendukungnya akan didampingi oleh tiga ratusan advokat. Oposannya berkomentar, jutaan advokat pun yang mendampingi, tidak akan menghentikan proses tersebut.

Yang menarik, mereka itu adalah elite tinggi negara Indonesia dan mengakui telah keliru dalam memberikan tanggapan terhadap pernyataan Ratna Sarumpaet serta bersedia dipanggil pihak kepolisian jika memang diperlukan. Ini merupakan peristiwa menarik dalam khazanah politik Indonesia mutakhir. Harus dikatakan bahwa ini merupakan contoh menarik dan positif bagi perkembangan politik Indonesia.

Secara teoretik dapat dikatakan bahwa pembohongan yang dilakukan itu dapat merugikan kelompok politik Prabowo Subianto. Ratna Sarumpaet adalah tim sukses calon presiden Prabowo Subianto. Di balik pembohongan itu, ada kemungkinan pencarian simpati dan sang tertuduh penganiayaan adalah kompetitor Prabowo.

Tetapi sekali lagi harus dikatakan bahwa kesediaan para elite itu untuk  menjadi saksi merupakan perkembangan positif bagi realitas politik Indonesia. Betapa pun keliru, konyol, dan gegabahnya para elite ini, akan tetapi ketersediaannya untuk datang memenuhi panggilan polisi, dan apalagi kelak bersedia diproses hukumnya, memberikan pesan positif bagi generasi berikut dari bangsa Indonesia.

Sejarah elite politik Indonesia terlalu feodal, jauh dari sentuhan hukum dan justru karena hal ini dimanfaatkan oleh para penjajah untuk memperlemah Indonesia. Berlangsungnya penjajahan yang beratus tahun itu, sebagian memang disebabkan oleh perilaku elite Indonesia ini.

Dalam studi-studi elite politik di Indonesia, sejarahnya selalu memperlihatkan fenomena tidak tersentuh. Mereka untouchable. Hal ini berkaitan dengan sejarah kerajaan pada masa lalu. Raja dipandang adalah titisan dewa (sama seperti di Jepang), dan dari konteks ini, raja adalah benar dan tidak terbantahkan.

Baca juga:  Belajar Kepemimpinan dari Mahatma Gandhi

Para pembantu raja, seperti perdana menteri dan mahapatih, adalah pembantu dewa yang juga tidak terbantahkan. Para pembantu raja ini menjalankan titah raja yang dipandang benar tersebut. Pandangan bahwa raja itu manusia, boleh dikatakan tidak ada. Ini mungkin disebabkan oleh sejarah penaklukan-penaklukan pada masa lalu atau bablas alas jika di Jawa.

Sebagai seorang pemimpin di dunia, raja merupakan pembuat keputusan, pembuat kebijakan, dan pemberi perintah. Jadi, raja tidak boleh ditentang dan rakyat harus tunduk dengan hal tersebut.

Dengan demikian, dengan filosofi raja sebagai keturunan dewa dan raja serta pembantunya sebagai tukang perintah dan pembuat kebijakan di dunia, maka rakyat tidak dapat berbuat apa-apa dan harus tunduk  dengan apa pun terhadap raja. Bukan saja tunduk dalam arti perintah tetapi juga pada sikap fisik.

Rakyat harus berjalan merangkak di hadapan raja. Di Jawa fenomena ini kelihatan secara fisik. Di Bali, secara penafsiran tersirat dalam tempat persembahyangan, di mana tempat pemujaan pokok didampingi oleh bangunan lain sebagai personifiksi sekretaris (penyarikan),  bendahara (taksu) serta pengawal (ratu ketut petung, anglurah dsb.).

Seolah-olah Tuhan itu raja yang kemudian didampingi oleh para pengabih-pengabih seperti yang disebutkan tadi. Bukan tidak mungkin ini merupakan legitimasi sosial dari raja yang diidentifikasi sebagai dewa. Fenomena itu masih sampai sekarang. Penjajah sangat memahami hal ini dan kemudian memanfaatkannya di mana-mana di Indonesia, demi kepentingan politik.

Baca juga:  SDM, Investasi untuk Masa Depan Bali

Itulah yang terjadi di Indonesia dan menurun pada elite politik di Indonesia. Pada zaman perjuangan kemerdekaan, terutama pada tiga dasawarsa jelang proklamasi kemerdekaan Indonesia, fenomena ini berkurag. Sosok terpelajar seperti Soekarno, Sutomo, Tjiptomangunkusumo, sampai Muhamad Yamin memelopori  kedekatan rakyat dengan elite demi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Harus ada sinergitas antara elite dengan rakyat agar cita-cita perjuangan tercapai. Rakyat memerlukan elite dan elite, memerlukan rakyat untuk mencapai cita-cita kemerdekan tersebut.

Akan tetapi begitu Presiden Soekarno menyatakan diri sebagai pemimpin besar tevolusi, demokrasi terpimpin dan tidak adanya wskil presiden (karena Muhammad Hatta mengundurkan diri), maka fenomena  feodalisme elite politik Indonesia kembali bangkit. Elite seolah tidak tersentuh. Dan kita bisa merasakan dan menyaksikan bagaimana elite-elite pemerintah pada zaman Orde Baru yang tidak dapat tersentuh.

Seandainya Orde Baru itu misalnya sebuah rezim yang dibentuk oleh agen asing atau negara lain, maka kemungkinan ini adalah pilihan yang menyesuaikan dengan zaman kerajaan pada masa lalu. Agen asing itu tidak saja mampu mengendalikan pemerintahnya tetapi juga rakyatnya sendiri. Tentu saja kita tidak menuduh rezim tersebut sebagai agen asing.

Reformasi sebenarnya memberikan kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk menghentikan berbagai sikap dan sifat feodalisme tersebut. Reformasi telah mampu memberikan kesamaan antara rakyat dengan elite politik dengan sistem keterbukaan yang diterapkan di Indonesia. Dengan  keterbukaan ini, elite politik tidak saja harus dan “dipaksa” tampil di tengah rakyat, tetapi juga memberikan wacananya seperti apa yang diharapkan oleh rakyat.

Baca juga:  Gerak Jalan: Nasionalisme Versus Ketertiban Lalu Lintas

Akan tetapi, pada zaman  pasca-Orde Baru ini pula masyarakat Indonesia diberikan pelajaran lain bahwa feodalisme itu ternyata tidak hanya dibentuk oleh faktor kesejarahan dan inspirasi pada masa lalu, tetapi juga oleh perilaku infrastruktur negara terhadap aktor politik yang ada. Perilaku dan perlakukan infrastruktur politik, seperti lembaga negara terhadap elite politik itu, justru menciptakan model feodal baru, yaitu perlindungan lembaga negara kepada elite sehingga ia menjadi feodal.

Seorang elite politik yang dihukum ternyata mendapatkan hukuman yang jauh lebih ringan dari yang seharusnya. Koruptor malah mendapatkan penjara yang mewah, atau koruptor malah lari ke luar negeri dan tidak ditangani secara serius oleh negara. Inilah yang membuat perilaku-perilaku feodal itu kembali muncul dalam bentuk lain.

Maka, dengan konteks uraian seperti di atas, dipanggilnya Amien Rais, Prabowo dan kawan-kawan merupakan kesempatan positif bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan contoh dari perilaku elite. Amien Rais adalah tokoh reformasi dan tentu merupakan kesempatan baik baginya untuk meemberikan percontohan kepada masyarakat.

Lembaga negara, dalam hal ini kepolisian, haruslah melakukan tugasnya dengan profesional, di samping untuk memperlihatkan sikap profesional tersebut, juga untuk memberikan semangat percontohan kepada lembaga negara lainnya agar bekerja maksimal. Tentu jika diperlukan langkah lanjutan pada proses pengadilan, itu mesti dilakukan. Dengan cara inilah kelak akan mampu diwujudkan demokrasi yang mumpuni di Indonesia. Reformasi selalu meneriakkan demokrasi akan tetapi demokrasi itu diinjak-injak oleh para tokoh reformasi itu sendiri. Ini mesti dilakukan agar feodalisme itu tidak membudaya di Indonesia.

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *